Love, Marriage, Relationship

Gary, Laki-laki Pelangi dan Pencarian yang Belum Selesai

Written by Saomi Rizqiyanto

Siang itu Jakarta cukup mendung untuk tidak dikatakan gerimis, saya memiliki janji untuk bertemu dengan teman lama saya, Gary, yang kini menjadi aktifis di LSM setempat. Saya sangat tertarik bertemu dengan Gary karena minggu lalu di harian Kompas, saya membaca ulasan tentang dirinya yang disebut sebagai penyintas kesehatan mental. Begitu saya menemukan artikel tersebut, jujur saya bangga bahwa cerita kehidupan teman saya ternyata laik masuk harian kompas, suatu hal yang prestisius. Walaupun isu yang diangkat cukup membuat saya mengernyitkan dahi. Kesehatan Mental, apakah Gary menderita ketidakstabilan mental?

Saya kenal Gary dulu sewaktu sama-sama di sekolah berasrama di Jogjakarta, khususnya di tingkat SMP. Anaknya cukup baik dan memiliki kesamaan minat dengan penulis, oleh karenanya penulis cukup dekat dengan Gary. Layaknya anak-anak SMP lainnya, apalagi di sekolah berasrama laki-laki, maka perundungan akan selalu ada dan seolah menjadi tradisi. Kebetulan, saya dan Gary sering diberi label ‘banci’ oleh kawan-kawan karena katanya hobi dan perilakunya seperti cewek. Kalau saya lebih suka untuk mengindar dan mendiamkan sementara Gary tidak. Dia memberontak dan mengubah perilaku dan penampilan hingga 180 derajat.

Gary yang kalem, tutur katanya lembut, putih terawat serta lentik ini kemudian menjadi bandel, sering curi waktu untuk merokok, menggunakan jeans sobek dan sering ngalong. Bergaul dengan anak-anak bandel, cukup membuat citra Gary berubah, yang tadinya sering di ejek banci, menjadi macho dan lalu sukses membuat dirinya dikenal sebagai anak bandel. Sewaktu Gary melakukan proses transformasi ini, Saya sudah tidak terlalu dekat dengan Gary, saya memang memilih untuk terus berproses menjadi diri saya sendiri tanpa hal-hal sensasional.

Sewaktu SMA, kita berpisah, saya meneruskan sekolah di sekolah berasrama sementara Gary pindah ke sekolah agama negeri. Saya dan Gary sudah lama tidak kontak walaupun Gary sering mampir ke Asrama tapi tidak pernah kontak langsung. Saya hanya mendengar kalau ‘Gary sudah berubah menjadi laki-laki sejati’. Hal yang waktu itu kemudian diperbandingkan dengan saya. Reaksi saya pada waktu itu, semua orang memiliki jalan hidup masing-masing. Kita tidak pernah tahu.

Waktu berlalu dan kisah masing-masing orang berjalan. Saya melanjutkan kuliah di Jakarta, sementara Gary kuliah di Jogja. Masing-masing melanjutkan kisahnya, hingga pada akhirnya saya bertemu dengan Gary lagi sewaktu saya sudah bekerja dan dia juga bekerja di Jakarta. Kita bertemu di Gokana Blok M, mulai dari perbincangan biasa hingga ihwal yang terkuak, Gary mengaku kalau dia adalah penyuka sesama jenis. Penulis kaget, bukankah dia dulu disebut-sebut sebagai orang yang sudah berubah[SR1] . Saya pikir, semua orang memiliki dark side, sisi gelap seksual masing-masing. Memiliki fetish masing-masing. Memiliki preferensi masing-masing. Tapi jikalau orang tersebut berani coming out, berarti dia memiliki suatu keberanian luar biasa. Perbincangan itu kemudian selesai begitu saja karena waktu, dia melanjutkan kongkow malam sementara saya harus pulang.

Saya yang penasaran, mulai mengeksplor social media dan mendapati hal-hal menakjubkan. Gary memiliki akun dengan nama Queen Drupadi, yang berisikan foto-foto Gary dengan dandanan ala-ala Drag Queen. Menggunakan lisptik merah, menggunakan wig, menggunakan bra dan rok, persis cabaret yang ada di Thailand. Dia sering manggung di beberapa kafe-kafe Jogja. Belum lagi akun aslinya yang berisikan foto-foto dia dengan beberapa pria, baik local maupun bule yang kesemuanya menggambarkan bagaimana seorang Gary saat itu. Saya tidak bisa menahan pertanyaan dalam hati, mengapa seorang Gary yang image nya dulu adalah pemberontak, nakal, macho kini menjadi drag queen dan penyuka sesame jenis?

Pendulum Kepribadian

“aku memiliki kuasa tubuh atas diriku, aku tidak perlu persetujuan orang lain, bagaimana aku memperlakukan tubuhku, itu adalah hak ku”

Gary

Saya selalu mengemukakan teori pendulum jikalau berkaitan dengan kepribadian orang yang cenderung ekstrim. Teori pendulum mengatakan, bahwa orang cenderung bersikap ekstrim kanan ketika dia berada dalam lingkungan konservatif, dan cenderung menjadi kiri ketika dia terbebas dari lingkungannya, dan pada akhirnya nanti akan menemui titik keseimbangannya. Seperti seorang santri yang terpenjara dalam pesantren, cenderung alim dan tidak neko-neko, namun beberapa ada yang begitu lepas dari pesantren, lalu mendadak liar dan tidak terkendali. Gary adalah cerminan pasti dari teori pendulum itu

Maka pada desember 2015, tepatnya di Prawirotaman, saya Kembali bertemu dengan Gary. Sebelum tiba di Jogja, memang aku ingin bertemu khusus dengan Gary karena kalau saya lihat social medianya, Saya melihat Gary cukup asyik dengan pergaulannya kini. Dia suka dugem, merokok dan kongkow-kongkow keren. Sementara saya mana mungkin bisa kongkow yang sekali masuk katanya harus menyediakan dana sebesar 500k.

Penulis ingat sekali, waktu itu maghrib, desember 2015. Bertempat di salah satu tempat ngopi di Prawirotaman, Jogjakarta. Tersibaklah cerita yang membuatku kemudian yakin bahwa Gary sejatinya memang bergerak ke kiri. Saya tahu Gary lulusan UIN Jogja, saya tahu Gary lulusan MAN 1 Jogja, saya tahu Gary lulusan Pesantren Muhammadiyah, yang pada dasarnya memiliki kajian islam yang kuat dan konservatif, namun dari ceritanya saya melihat Gary bergerak ke arah radikal kiri.

Sambil menikmati rokok dan kopi, Gary bercerita jikalau dia adalah ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) sejak tahun 2010. Im not blaming him, I just wondering, bagaimana dia bisa terkena, memangnya Gary tidak memiliki konsep safe sex. Walaupun dia bercerita jikalau pertama kali dia kena dia sempat putus asa, sempat mau menyudahi hidup, belum lagi dia sempat berkonflik dengan FPI Jogja, tempat pemutaran filmnya sempat di persekusi. Bagaimana kehidupan dia sewaktu dia ceritakan adalah awal dari bergesernya pendulum Gary, ke arah kiri.

Kembali ke pertanyaan, kenapa dia bisa terkena? Dia menjawab dengan jelas dan yakin “aku memiliki kuasa tubuh atas diriku, aku tidak perlu persetujuan orang lain, bagaimana aku memperlakukan tubuhku, itu adalah hak ku”  Sejak kapan sih terma kuasa tubuh ini menjadi semacam mantra ajaib sehingga orang-orang dengan preferensi seksual berbeda menjadi lebih liar dan tidak terkendali. Saya hanya mencoba meyakinkan bahwa kuasa tubuh is oke, tapi kita juga perlu melindungi tubuh dengan perlindungan. Setiap orang berhak melakukan kasual seks dengan siapa saja, karena itu adalah kuasa tubuh orang tersebut, tapi jangan melupakan safe sex, kataku. Gary mengatakan “tidak bisa, bagaimana kalau pasanganmu memaksa, kita kan harus sama-sama konsen”. Oke. Aku tidak mau berdebat lebih lanjut hanya saja cukup prihatin kala itu, dia masih sangat muda, HIV sudah merenggut masa depannya.

Saya beberapa kali membawa kisah-kisah serupa dengan Gary kepada sivitas akademik, namun respon teman-temanku di kampus baik UI maupun UIN selalu bertanya kenapa saya termasuk orang yang konsern dengan isu-isu LGBT. Karena isu ini penting, jawabku, dalam beberapa perkuliahan di kelas yang saya ampu, khususnya ketika ada berita-berita besar seperti Reynhard Sinaga atau yang lain, saya selalu menekankan pentingnya pendekatan psikologis dibandingkan pendekatan agama. Well, pendekatan agama sejatinya baik hanya terkadang tidak disampaikan dengan pendekatan yang baik. Pendapat saya adalah, kita tidak boleh menjauhi orang-orang LGBT, justru harus membuka pintu sembari mengarahkan mereka kedalam kehidupan yang positif. Jikalau mereka dipersekusi, dibenci dan kemudian diasingkan, justru mereka mangsa empuk bagi evangelis kuasa tubuh, para propagandis kuasa tubuh.

Dalam salah satu diskusi mengenai bagaimana Islam memandang HIV AIDS, mungkin penulis adalah orang yang cukup terbuka dengan opsi bagaimana negara seharusnya memberikan perlindungan hukum bagi kaum Pelangi. Walaupun banyak ulama yang menentang adanya LGBT di Indonesia, saya termasuk yang memberikan pandangan lain. Negara tidak boleh memperkusi kaum LGBT, masyarakat tidak boleh memperkusi kaum LGBT, tapi LGBT juga tidak boleh memaksakan kuasa tubuh untuk bisa menuntut negara mengesahkan pernikahan sesama jenis.

Negara harus bisa memberikan perlindungan kepada kaum LGBT sehingga mereka tidak menjadi korban bagi predator seksual, tidak menjadi korban propaganda-propaganda destruktif. Negara harus hadir memberikan edukasi tentang pentingnya kesehatan reproduksi, pentingnya kehidupan seksual yang sehat kepada para kaum Pelangi. Sehingga mereka tidak terombang-ambing dalam menjalani hidup. Karena cenderung, mereka sebenarnya sendirian dan bingung. Ujungnya adalah depresi dan bipolar.

Korban Propaganda dan Penolakan

Penulis pada suatu kesempatan pernah bertemu lagi dengan Gary pada tahun 2018 di Kuningan City, pada waktu itu Gary baru saja pulang dari Bali, mencari ketenangan batin di sana, masuk ke sanctuary, bermeditasi, dan banyak berkenalan dengan orang-orang yang memiliki pemahaman tentang horoskop, bintang-bintang dan aura-aura yang hadir dalam kehidupan kita. Penulis tertarik untuk membincangkan pengalaman Gary, tapi sejujurnya, penulis sangat tertarik dengan perjalanan hidupnya.

Gary bercerita mengenai perjalanan hidupnya mengapa dia sampai pergi ke Bali. Katanya untuk mencari ketenangan batin, karena di pekerjaannya yang dulu, dia bertengkar dengan banyak orang, dengan lingkaran pertemanannya, dengan lingkaran pekerjaannya, dengan teman-teman fuckbuddynya yang membuat hidup dia tidak tenang dan memilih untuk terbang ke Bali. Di sanalah dia bertemu dengan hypnotherapist yang mengajarkan dia tentang alam dan keseimbangan hidup. Alam yang dimaksud bukanlah tentang nature an sich seperti tumbuh-tumbuhan, hewan dsb namun mengenai bintang-bintang berikut dengan aura-aura yang hadir dalam tubuh manusia. Beberapa kali penulis menawarkan perspektif lain, terutama tentang ketuhanan, agama, toleransi sesama manusia, namun Gary tolak dengan mengatakan bahwa dirinya adalah seorang atheis.

Apa yang penulis lihat pada waktu itu adalah, Gary memang tenang, tapi ada yang bergejolak dalam dirinya, tatapan matanya galak dengan pendapat-pendapatnya yang sepertinya tidak peduli dengan perspektif lain. Belum lagi isi perbincangannya yang penulis sama sekali tidak nyambung dan tidak membumi. Pembicaraan mengenai aura-aura dilekatkan dengan kepribadian seseorang seakan kejadian atau peristiwa yang terjadi dalam hidup seseorang dikarenakan tidak cocok dengan aura, astrologi dan lain sebagainya.

Ada satu lagi yang mengganggu penulis, sewaktu dalam perbincangan, tiba-tiba Gary mengecek handphone nya dan langsung berpamitan, menyudahi pertemuan malam itu. Dia mengaku akan bertemu dengan teman ‘fuckbuddy’ nya, ketika ditanya lebih lanjut, dia bercerita tentang teman Fuckbuddy nya yang adalah seorang dj di suatu kelab malam. Orangnya katanya menyukai gaya BDSM ala-ala masochist, dalam menunggu kedatangan taksi, Gary memperlihatkan aplikasi kencan untuk kaum gay, dan di sanalah penulis melihat semua foto-foto Gary berikut dengan pose-pose nakalnya, begitu juga dengan teman-teman fuckbuddynya, semuanya diperlihatkan tanpa takut ada judgment. Malam itu dia akan berpesta dengan teman-temanya. Is it threeway or fourway, penulis kurang tahu, yang pasti, this is my body, this is my authority.

What I saw in that moment was Gary is lost. Gary telah hilang kendali atas dirinya. Dia adalah korban dari propaganda ‘kuasa tubuh’ yang justru melacurkan Gary dalam gaya hidup yang tidak seimbang. Dimana letak kuasa tubuh Gary ketika dia dipaksa untuk threeway misalnya, atau dimana letak kuasa dia ketika teman kencan nya ngotot untuk tidak menggunakan pengaman. Dimana letak control emosinya ketika semua keinginanya tidak terlaksana, apakah gary masih mengenal istilah sabar dan ikhlas. Penulis tidak tahu.

Kesehatan Mental

Siang itu, Gary tampak lebih tenang, pembawaannya kalem, bobot obrolannya juga lebih terukur dibanding pertemuan terakhirku dengan Gary di Kuningan City tahun 2018, siang itu dia sudah berbeda. Ketika penulis singgung tentang bintang-bintang dan aura-aura, Gary mengatakan itu tidak rasional, karena menurut penuturannya, dia kabur dari Bali setelah dia berpikir akan mendapatkan ketenangan namun yang ada adalah kebingungan demi kebingungan dan lagi-lagi drama pertengkaran dengan teman-temannya. Gary memilih pulang ke Jakarta.

Selain bertukar kabar, Gary juga bercerita tentang kegiatannya selama ini. Ia saat ini tercatat sebagai activist Kesehatan reproduksi, kegiatan kampanye yang dilakukan adalah mengadvokasi korban kekerasan seksual dan memberikan shelter bagi korban perundungan, mayoritas mereka adalah laki-laki penyuka sesama jenis atau gay. Penulis sempat mengapresiasi kinerjanya yang sangat baik sebagai executive producer film Calon Pengantin. Gary memperkenalkan beberapa producer dan actor-actor yang kini menjadi lingkaran pertemanannya.

Berkenaan dengan teori pendulum, kehidupan Gary sudah mengarah ke titik tengah, setidaknya yang penulis lihat, memiliki circle pertemanan yang produktif dan positif dengan karya-karya yang bisa dibilang membanggakan. Belum lagi liputan dirinya di Kompas yang sangat penulis apresiasi. Khususnya ketika Gary mengakui dalam liputan itu bahwa dia adalah penyintas Kesehatan mental. Apa yang penulis kemukakan diatas, khususnya yang berkaitan dengan perjalanan hidup Gary adalah tentang bagaimana Gary sebenarnya sedang berjuang dalam pergolakan batin yang akhirnya kalah oleh narasi kuasa tubuh dan tergelincir dalam kehidupan yang membuat dirinya tidak stabil secara mental. Gary mengakui bahwa dirinya mengalami gangguan mental sejak dia SMP, berarti persis ketika dia satu sekolah dengan penulis, ketika semua temannya membully, kemudian dia ingin membuktikan kepada teman-temannya, dan lalu jatuh dalam narasi kuasa tubuh, penolakan keluarga, HIV AIDS, astrologi dan aura-aura hingga kehidupan seksual yang bebas. Itu semua adalah gangguan Kesehatan mental.

Pertanyaan terakhir yang penulis ajukan kepada Gary di pertemuan itu adalah, apakah Gary menginginkan sebuah keluarga atau hubungan yang sehat dengan seseorang yang dia sayangi. Gary menjawab, belum tahu, saat ini yang ada dalam benaknya adalah pekerjaan. Jawaban itu cukup membuat penulis tenang, pekerjaan dan circle nya yang sekarang membuat Kesehatan mental Gary lebih stabil.[]


About the author

Saomi Rizqiyanto

Leave a Comment