Love, Marriage, Relationship

Cinta Akhwat Partai Dakwah

Written by saumiere

Saya gagal paham apabila Risty Tagor bercerai sampai dua kali, pertama dengan Rifki Balwell dan kedua dengan Stuart Collin. Dalam pandangan penulis, keduanya ganteng, keturunan keluarga baik-baik, seiman, dan tentu saja, karena keduanya memiliki ras campuran, maka untuk urusan ukuran tidak usah dibicarakan, semua tahu, Persian and Caucasian men surely have well endowed. So definitely, a million girl would kill to date either Rifki or Stuart. Tapi apa masalahnya? Saya tidak akan membahas itu karena itu urusan mereka, yang pasti there is something about Risty Tagor or a girl like Risty. I have dated two of the kind and I was marrying one of kind, in the end of the day, we broke up and get divorce, my wife goes down and did what like Risty do.

Jikalau ditarik benang merah, rata-rata mereka punya satu kesamaan yang saya sendiri sebenarnya masih absurd namun kejelasannya diatas 70%. Pertama, mereka adalah muslim yang berhijrah, dari tradisi-tradisi yang sebenarnya sudah conform dengan norma dan adat di Indonesia menuju ke kebiasaan yang mereka doktrinkan ke para anggotanya. Misalnya, mereka menggunakan istilah hijab dibanding jilbab/kerudung, mereka menggunakan kerudung tidak seperti Nyai Ahmad Dahlan tapi menggunakan bahan lebar hingga pinggang. Saya tahu benar dua-duanya benar, tapi entah kenapa memang sepertinya ada distingsi antara tradisi Islam yang sudah mengakar di Indonesia dengan kebiasaan indoktrinasi ala-ala timur tengah. Penggunaan kerudung itu bisa menjadi penggambaran yang tepat. Deskripsi ini bisa lebih mengejutkan jikalau ditemukan fakta-fakta bahwa mayoritas wanita yang menggunakan hijab besar itu adalah lulusan sekolah umum yang awam terhadap agama. Mereka berhijrah setelah mengikuti liqo-liqo yang ada di sekolah maupun di kampus-kampus.

Indoktrinasi yang digencar-gencarkan terus menerus itu lama-lama membentuk pola pikir para akhwat yang secara jelas pada akhirnya menolak bentuk pola pikir lain yang tidak searas dengan doktrin liqo. Salah satu doktrin yang mereka sering ajarkan adalah bahwa pacaran itu haram yang diperbolehkan adalah taaruf yang secara harfiah berarti saling mengenal. Salah satu teman penulis bercerita bahwa dulu waktu dia kenalan dengan salah satu perempuan di Tinder dan lalu ketemuan ada cerita lucu, si cewek ini bercerita bahwa ketemuan ini adalah bentuk taaruf, pun dengan kencan-kencan mereka yang lain seperti nonton film di bioskop dan rutinitas malam minggu yang lain. Jadi pacaran haram, taarufan boleh walaupun tradisinya sama[1].

Singkat cerita, hubungan teman saya ini kandas di tengah jalan karena kita namakan saja, Hamjah, capek dengan segala macam tuntutan si cewek, mulai dari keharusan berhijrah, seperti harus shalat lima kali tepat waktu, mengikuti kajian-kajian ahad pagi di liqo yang sudah ditentukan, namun setelah mengikuti anjuran ceweknya ini, kemesraan tak kunjung datang yang pada akhirnya membuat Hamjah, urang sunda kasep yang serius mencari jodoh ini akhirnya meninggalkan cintanya.

“capek gw Mer, disuruh pengajian terus tiap minggu, nanyain shalat terus, tapi kalau dipegang tangannya kayak gak mau” kata Hamjah suatu ketika, sebagai teman saya faham sih maksud dari curhatan ini. Hamjah tipikal orang yang menginginkan pacaran gaya normal layaknya pemuda-pemudi era sebelum reformasi di mana gandengan tangan di mall adalah gaya lumrah, maupun pergi ke warnet untuk membuat email dengan nama gabungan adalah hal yang jamak di temui. Sehingga dia little bit desperate ketika mengetahui ekspektasinya sepertinya jauh dari harapan, setelah extraordinary effort yang dia lakukan untuk ceweknya tidak membuahkan hasil.

Tapi rasa keingintahuan saya terus membesar seiring banyaknya pengalaman yang tidak hanya menimpa saya, namun juga teman-teman saya dan beberapa selebriti, berujung pada satu pertanyaan, lalu cinta seperti apa sih yang diinginkan oleh para akhwat ini? Profil laki-laki ideal seperti apa yang mereka inginkan? Apa sih bayangan mereka tentang sebuah keluarga? Apakah para akhwat ini mampu untuk merelakan naluri wanita mereka ketika berhadapan dengan doktrin?

***

Menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam ini setidaknya harus melihat kembali gejala keislaman baru di Indonesia khususnya setelah era reformasi. Saya adalah orang yang lahir dari keluarga muslim konservatif yang taat pada ajaran agama, saya juga disekolahkan di Madrasah Muallimin Muhammadiyah Jogjakarta yang mempelajari wacana-wacana keislaman konservatif, saya juga kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang beraliran terbuka terhadap semua perbedaan, apalagi sewaktu saya mengambil jurusan Kajian Amerika di Universitas Indonesia, cukup banyak mempengaruhi saya dalam mengambil satu arah pemikiran. Background keluarga dan pendidikan saya membuat saya paham akan aliran-aliran dalam Islam dan bagaimana perilaku penganutnya, walaupun mungkin tidak mendalam karena itu membutuhkan sebuah riset.

Kata ikhwan dan akhwat pertama saya kenal sewaktu saya duduk di kelas 2 Tsanawiyah atau 2 SMP atau kelas 8, sewaktu itu saya lagi senang mengeksplorasi bacaan. Saya entah kenapa terpikat oleh gaya novel-novel Lingkar Pena, mulai dari Aisyah Putri jilid I dan II, lalu kumpulan cerpen Rembulan Di Mata Ibu yang dua duanya ditulis oleh Asma Nadia. Novel-novel itu secara mengejutkan membuka pikiran saya akan dunia yang sejujurnya benar-benar baru, mulai dari diksi yang digunakan, pola pikir yang dikembangkan hingga istilah-istilah yang baru bagi seorang anak kelas 2 SMP. Saya juga membaca majalah Annida yang satu firqoh atau satu golongan dengan Asma Nadia, Helvy Tiana Rosa dkk.

Diksi yang digunakan cenderung menggunakan istilah asing (dalam hal ini bahasa arab) yang dikawinkan dengan bahasa indonesia, seperti misalnya kata ana dan antum dalam penggunaan keseharian “ana mau shalat dulu akhi” dan kata-kata lain seperti akhi dan ukhti, salim a fillah, taaruf, hijrah, hijab, dan istilah-istilah lain yang membuat saya dan orang-orang yang terlibat dalam liqo itu terbiasa dengan istilah itu. Percaya atau tidak, diksi yang digunakan perlahan menggeser padanan bahasa Indonesia yang dari dulu digunakan seperti kerudung diganti hijab, saya dan kamu diganti ana dan antum, hati hati dijalan menjadi fi amanillah dan terima kasih menjadi jazakillah. Tidak ada yang salah sih dengan penggunakan diksi khas ini, justru ini adalah identitas khas penanda bahwa anda adalah golongan kelompok liqo.

Anehnya, meski kelompok ini memiliki identitas yang kuat dan khas, namun mereka tidak memiliki nama organisasi keagamaan yang melekat. Sebagai contoh, kita mengenal kelompok NU, Muhammadiyah, Persis, Hizbut Tahrir dsb yang melembaga dalam bentuk badan hukum dan memiliki identitas dan simbol simbol yang melekat, namun kelompok ini, tidak memiliki organisasi badan hukum, mereka membentuk organisasi-organisasi sendiri dengan nama beragam namun memiliki kesamaan platform. Amien Rais dalam desertasinya menyebut kelompok ini dengan istilah Ikhwanul Muslimin, merujuk pada sebuah gerakan yang didirikan oleh Hasan Al Bana di Mesir. Namun sejak IM dilarang dan dibubarkan, gerakan ini cenderung emoh membuat organisasi yang tampak, namun mereka cenderung membuat partai politik. Di Indonesia, partai ini sangat terkenal dengan istilah partai dakwah, you name it, di Turki mereka juga membuat partai namun basis dari kelompok ini cenderung tidak terlihat.

Ideologi dibalik gerakan para ikhwan/akhwat atau mari kita sebut Ikhwanul Muslimin ini adalah gerakan mengubah kondisi mental dan pikiran masyarakat sehingga terwujud apa yang mereka sebut sebagai izzul islam wal muslimin. Selain memberikan sibghatullah atau celupan Allah dalam seorang muslim berupa simbol-simbol tersurat, mereka juga membentuk perilaku para anggota dengan manhaj “hijrah”. Sebagai muslim, saya tahu apa itu makna hijrah terutama dalam kaitannya dengan peristiwa migrasi Nabi Muhammad SAW dari Mecca ke Medina, namun definisi hijrah menurut kelompok Ikhanul Muslimin adalah bagaimana seorang muslim mengubah perilakunya menuju apa yang mereka sebut sebagai insan kamil. Mereka akan menekankan mantra hijrah kepada para anggota liqo nya untuk mengubah perilakunya sesuai dengan mindset mereka. Maka dimulailah pergeseran perilaku para anggotanya mulai dari penggunaan halo menjadi assalamualaikum, berpakaian kaus dan jeans menjadi baju longgar, kerudung hingga hijab. Anak-anak SMU yang tadinya terbiasa bersalaman dengan lawan jenis, akan mulai sungkan dan hanya menutup tangan utk bersalaman dengan lawan jenis.

Secara pribadi saya tidak terlalu intens mengikuti kajian liqo-liqo ini, hanya sebentar sewaktu saya kuliah S1, mereka biasanya mengadakan kajian-kajian di kelas-kelas kosong, yang memang tidak ada jam kuliah. Mereka akan memanfaatkan sumber daya yang ada, yang iddle, tidak terpakai menjadi keuntungan bagi kelompok ini. Waktu itu materi kajian yang mereka bahas adalah Cinta Merah Jambu, mulailah dengan segala bahasan hal yang boleh dan yang tidak boleh dalam hubungan percintaan. Pernah juga suatu waktu bahasannya tentang Palestina, satu hal yang juga melekat dalam kelompok ini.

Tapi ada satu hal yang membuat saya agak concern dengan konsep hijrah yang mereka doktrinkan. Saat mereka membahas tentang Cinta Merah Jambu ini, mereka melarang istilah pacaran karena sudah mendekati zina dan itu dilarang oleh Allah, oleh karenanya mereka mengenalkan istilah taaruf. Yang menjadi pertanyaan, apakah setiap orang yang pacaran benar-benar melakukan perbuatan yang mendekati zina? apakah yang taarufan tidak melakukan perbuatan yang mendekati zina?

Lalu saya mencoba menggali seperti apa sih konsep taarufan yang mereka doktrinkan dan amalkan kepada para anggotanya. Saya penasaran walaupunn namanya berganti, tetap saja pelakunya sama, laki-laki dan perempuan yang dibekali oleh Allah sebuah nafsu. Like old man said, the players change, the game remain the same. Pada titik inilah saya diingatkan kembali tentang hubungan teman saya yang bernama Azmi dan Shofi[2].

***

Sewaktu saya kuliah, saya sempat magang di lembaga riset yang dimiliki oleh salah satu petinggi kampus, pekerjaan saya disana adalah sebagai staf PR yang membantu publikasi dan informasi melalui website dan social media. Dalam masa-masa magang ini saya kenal dua teman saya yang sejatinya satu departemen dan satu angkatan namun beda kelas. Nama mereka Azmi dan Shofi. Sebenarnya yang benar-benar magang adalah Shofi, dia ditugaskan sebagai staf perpustakaan yang mencatat segala administrasi perpustakaan. Anehnya Shofi selalu tidak mau kalau diajak makan siang bersama, sementara staf-staf lain termasuk saya sering sekali makan bersama di kantin perkantoran setempat.

Shofi selalu mengatakan, afwan ana lagi shaum, yang jikalau diartikan – maaf saya sedang berpuasa-. Oke, sebagai seorang muslim saya paham apakah Shofi sedang berpuasa senin kamis atau puasa daud, saya menghormati itu. Namun dikesempatan lain, jikalau Azmi datang, mereka berdua barulah makan siang bersama di salah satu sudut meja pelayanan. Apakah mereka sedang berpacaran? Sebagai seorang dewasa saya tidak perlu tanya-tanya lebih lanjut, dalam bahasa gaul ya mereka sedang “mojok” walaupun hanya sekadar makan siang bersama. Kedua, Azmi akan mengantarkan dan menjemput Shofi dikala waktu masuk dan waktu pulang. Apakah mereka berkhalwat? Pertanyaan-pertanyaan itu menggelinding terus di benak penulis, hingga saya memberanikan diri untuk bertanya langsung.

“kita sudah menikah siri” begitu jawaban singkat yang diberikan oleh Shofi dikala saya menanyakan status hubungan antara Azmi dan Shofi. Sebagai anak kuliahan, saya terkejut dengan jawaban berani seperti itu. Jawaban itu menjadi legalitas agama yang membuat Shofi dan Azmi kemudian diperbolehkan untuk saling makan siang bersama dan kemudian pulang pergi sama-sama dalam satu motor. Oke, tapi tetap saja ada satu pertanyaan yang timbul kenapa siri? Kenapa tidak langsung resmi? Jawaban yang keluar adalah “dari pada zina terus mas, mending nikah siri, tidak kena dosa agama, masalah resmi di KUA nya nanti setelah kita ngumpulin duit baru deh perayaan dan lain sebagainya”

Pada satu sisi, jawaban itu sangat melegakan dalam artian bahwa oke, secara agama Azmi dan Shofi memang terhindar dari perbuatan dosa, kemudian bahwa mereka berdua sudah sama-sama satu frame pemikiran dan memiliki komitmen bersama yang sehat yang pasti tidak memiliki masalah dalam komunikasi. Namun di sisi lain justru menimbulkan pertanyaan lain, kenapa Shofi sangat berani menerima untuk dinikahi secara siri? Bukankah itu akan menimbulkan kerugian di sisi perempuan? (well in the end of the day, Azmi dan Shofi meresmikan pernikahan secara legal di Kantor Urusan Agama). Apa yang membuat Shofi menerima Azmi begitu saja? Bukankah Azmi masih kuliah dan belum bekerja? Jawaban Shofi merupakan pamungkas dari pertanyaan besar dari judul ini.

“karena Azmi bisa menjadi imam yang baik” kata Shofi pada suatu kesempatan dimana kami menikmati rujak manisan di meja konter pelayanan perpustakaan. Shofi lebih lanjut mengatakan bahwa Azmi shalatnya selalu berjamaah, rajin puasa senin kamis, tidak merokok, rajin ikut kajian, sangat memperhatikan orang tua dan sederet alasan berlandaskan agama yang terdengar sangat ideal dan saya yakin tidak ada yang berani membantah argumen-argumen berbau agama seperti itu. Saking idealnya justru kita bertanya memangnya Shofi tidak memiliki kriteria pria idaman? Seperti misalnya pemain bola lah, perut six pack lah atau berjambang lah dsb. Kata Shofi, yang dinilai Allah itu adalah ketakwaan seorang hamba bukan kesempurnaan fisik. Saya sebagai teman tidak bisa mendebat lebih banyak karena jawaban Shofi bukanlah analisis kritis alamiah seorang manusia tetapi wahyu dari Tuhan sehingga siapa yang bisa mendebat wahyu Tuhan?

Dari mana Shofi bisa mendapat jawaban-jawaban mantap seperti itu padahal Shofi adalah gadis berusia 22 tahun yang belum lulus kuliah? Bukankah proses pencarian cinta, layaknya hal-hal terpenting dalam hidup, seperti kebahagiaan, iman dan loyalitas adalah proses panjang dialektis penuh pengalaman sehingga orang itu mantap dengan nilai-nilai tersebut. Saya setuju bahwa jawaban-jawaban Shofi adalah jawaban yang benar namun jawaban yang meluncur dari gadis yang belum berusia setengah abad, membuat saya ragu.

Sarah, teman saya satu kelas, teman Shofi dan Azmi juga satu angkatan memberi informasi yang cukup membuat saya semakin paham. Sarah mengatakan Shofi dan Azmi adalah anak LDK (lembaga dakwah kampus) UIN yang nota bene adalah unit kegiatan mahasiswa yang didanai oleh anggaran negara dan diisi oleh ikhwan akhwat dengan kajian hijrah di dalamnya. Lalu Sarah yang nota bene sudah kenal lama dengan Shofi bercerita jikalau Shofi menceritakan awal mula perkenalannya dengan Azmi. Selain dari saling curi-curi pandang waktu kajian, tapi ada satu prosedur yang lucu yang pernah dijalaninya. Menurut Sarah, sewaktu Azmi tertarik dengan Shofi ada penghubung atau mak comblang yang menjembatani keduanya, tapi bedanya kalau mak comblang dulu adalah penghantar surat cinta, kalau mak comblang ini adalah penghubung komunikasi agar tidak terjadi fitnah katanya, dan kalian tahu apa medium pertama yang dijadikan pertukaran? Yaitu adalah curriculum vitae. 

Saya hampir tersedak mendengar cerita Sarah, bagaimana mungkin curriculum vitae dijadikan sebagai medium pertukaran mengingat apa yang dilihat dari CV? Foto ya, nama lengkap, jenis kelamin, umur dsb, tapi bukankah selembar kertas hanya selembar kertas yang bisa diketak ketik asal. Bahkan anehnya, ada satu golongan, mungkin bukan golongan ikhwanul muslimin tapi lebih tertutup, mereka bertemu dan saling mengenal melalui pertemuan dimana mereka saling membelakngi satu sama lain demi menghindari pemandangan aurat. Pertanyaanku adalah bagaimana mereka mengenal lebih baik apabila cara berkomunikasinya saja saling membelakangi. Ingat pernikahan itu dilandasi atas dasar saling mengenal. Lalu saya pernah mendengar ada sebuah perkawinan yang gagal pada malam pertama begitu sang pria mengetahui jikalau wanitanya memiliki hal-hal yang tidak diinginkan oleh pria.

Hubungan Shofi dan Azmi dalam beberapa tahun kebelakang setelah masa magang saya selesai berjalan cukup indah, mereka menikah secara resmi, memiliki keturunan yang menggemaskan, terlihat bahagia dan sakinah. The marriage that everybody wants. Sampai kemudian suatu waktu saya menyadari ada yang berbeda dari akun facebook Shofi, namanya berubah menjadi Ummi Haniya, dan tidak tampak lagi foto-foto Shofi dan Azmi maupun foto-foto Shofi sendiri. Akun facebook nya berubah menjadi agen atau tempat berjualan, umumnya obat-obatan herbal, mulai dari habbatussauda, madu, hingga rumput fatimah dan manjakani. Suatu ketika saya tergelitik untuk bertanya-tanya mengenai hubungan mereka, dan jawabannya cukup mengagetkan, Shofi dan Azmi sudah berpisah beberapa bulan. Alasannya cukup simple, Azmi menginginkan poligami dan Shofi tidak mau berbagi suami. Akhirnya perpisahan menjadi jalan terbaik.

Cerita Shofi dan Azmi menjadi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang penulis ajukan diatas, bahwasannya akibat doktrin-doktrin yang terus ditanamkan melalui liqo-liqo rutin mingguan atau harian yang disebarkan melalui media sosial, akhwat-akhwat ini kemudian memiliki prinsip sangat tertutup, sehingga mereka akan mencari kriteria pria idaman seperti yang ditanamkan melalui liqo-liqo, mulai dari harus yang rajin shalat shubuh berjamaah, rajin ikut pengajian, tidak merokok, tidak minum, tidak kasar kepada perempuan dsb. Kalau kriteria tersebut tidak ada dalam diri seorang pria maka wanita biasanya akan meninggalkan pria tersebut.

Pengalaman penulis sendiri cukup memadai untuk bisa yakin seperti ini. Penulis pernah berkenalan dengan wanita di aplikasi tinder, dan tahu apa hal-hal pertama yang wanita itu tanyakan? Hampir mirip seperti yang penulis tuturkan diatas, “kamu sholatnya dimana? Sendiri atau berjamaah? Suka ikut kajian gak? Kajian apa? Di Masjid mana? Ustadnya siapa?” pertanyaan-pertanyaan yang kemudian membuat penulis tertawa, apakah begini cara pendekatan akhwat dalam mendapatkan jodoh. Penulis sangat yakin iya.

Pertanyaan lain yang juga terjawab dari cerita Shofi dan Azmi adalah, ternyata Akhwat tetaplah seorang wanita yang menginginkan suaminya hanya milik dia seorang. Doktrin sekuat apapun tidak akan bisa mengekang nature terdalam seorang wanita, menginginkan pria yang setia hingga akhir hayatnya. Sejelas apapun hukumnya dalam kitab Alquran yang membolehkan laki-laki memiliki empat istri, seorang wanita tetap seorang wanita. Bisa jadi liqo-liqo tidak pernah mendoktrinkan poligami kepada akhwat-akhwat partai dakwah, apa karena tidak memiliki ahli agama karena ahli agamanya ada di NU dan Muhammadiyah atau apa karena bisa jadi tujuan mereka hanyalah mencari massa untuk pemilihan, ups bisa jadi.

Tips Berkencan dengan Akhwat Partai Dakwah

  1. Harus berhijrah, siap-siap mengganti hai menjadi assalamualaikum, aku dan kamu menjadi ana dan antum, mengganti baju-baju vintage keluaran merek terkini menjadi menggunakan gamis.
  2. Harus rajin-rajin shalat berjamaah di masjid dan ikut kajian liqo-liqo tiap minggu, bahkan kalau perlu ikut membagikan sebanyak-banyaknya info dari grup whatsapp, dakwah katanya.
  3. Harus tetap menjadi laki-laki seutuhnya, urat kawat tulang baja, yang menjaga keluarga dan menjadi imam yang baik untuk keluarga
  4. Harus siap-siap disalahkan kapan saja karena doktrinnya mengajarkan bahwa laki-laki harus menyayangi istrinya.
  5. Harus rela kehilangan hak poligami walaupun itu diperbolehkan karena doktrin partai dakwah tidak pernah membahas poligami dalam kajian-kajiannya.

[1] Tradisi yang dimaksud adalah pacaran dalam bentuk umum yang sesuai dengan norma di Indonesia seperti nonton film, jalan-jalan di mall pada hari sabtu, makan bersama, saling membelikan hadiah, saling menanyakan ‘sudah makan belum’ dan lainnya. Biasanya kelompok ini menambahkan pertanyaan lain seperti ‘sudah shalat belum’.

[2] Untuk menjaga privasi, saya menyamarkan nama-nama dalam tulisan ini.

About the author

saumiere

Leave a Comment