saya tidak mau meninggal sendirian di apartemen sementara tubuh saya dimakan oleh kucing
Miranda Hobes, Sex and The City
Ada sebuah anomali yang belakangan berkembang menjadi semacam kewajaran di dunia global, yaitu saat teknologi semakin canggih, mampu mempertemukan pertemanan tanpa memandang sekat batas ruang dan waktu, namun malah perasaan hampa dan kesendirian semakin tinggi. Ribuan koneksi di LinkedIn, banyaknya jaringan pertemanan di Facebook, ratusan ribu follower di Instagram maupun twitter malah justru membuat seseorang terisolasi oleh kesendirian, mereka tidak punya teman sekadar untuk malam minggu atau teman makan siang. Laporan penelitian terbaru oleh Global Research menunjukkan, mereka yang terlihat sibuk dengan handphone nya malah sebenernya diliputi rasa kesepian, cemas dan stress yang tinggi. Inilah yang disebut dengan epidemi kesendirian.
Teman dekat saya, Baim, baru-baru ini mengkonfirmasi kebenaran akan temuan itu. Baim seorang analyst perusahaan asuransi multinasional yang berkantor di Sudirman menyewa sebuah kamar indekos di bilangan Setiabudi, di indekos nya itu banyak laki-laki muda usia 25-35 yang boleh dibilang mapan, setiap pagi mereka tampil serba wangi, mengkilap, dan crisp. Banyak dari mereka yang bahkan memiliki badan yang oke karena sering mengolah tubuh di gym. Pagi hari mereka berangkat ke kantor dan malam hari baru mereka istirahat di indekos. Anomalinya adalah, laki-laki dengan rentang usia tersebut adalah laki-laki single and eligible yang seharusnya memiliki pasangan (entah gay, bi, straight) namun setiap weekend tiba, terutama malam minggu, para lelaki single and eligible tersebut justru menghabiskan waktunya di indekos, tidur dan main hp seharian dan keluar kamar hanya untuk mencari makan. Ini adalah satu penanda dari epidemic tersebut dan ini baru di Jakarta, bagaimana dengan di kota-kota lain?
Minggu lalu saya membaca sebuah laporan jurnalistik dari Hester Underhill di majalah Monocle. Hester baru saja mewawancarai seorang private investigator kenamaan dari Paris bernama Martine Baret, seorang wanita berusia 71 tahun yang turun temurun mewarisi sebuah usaha jasa detektif dari keluarganya. Ia menjalankan sebuah agen detektif bernama Detective Duluc dan berkantor di seberang museum Louvre, Paris. Menurut Baret, dulu di Paris, pada tahun 1960 s.d 1970 an, banyak orang Paris yang menyewa detektif untuk menyelidiki dugaan adanya perzinahan pasangannya. Sekarang justru sebaliknya, banyak orang yang menyewa detektif untuk menyelidiki mantan pasangannya, anaknya dan keluarganya yang jauh, sekadar untuk mengenang masa-masa indah bersama pasangan.
Well, penuturan Baret bisa menjadi semacam justifikasi bahwa mungkin benar, dewasa ini ketika semua orang dengan mudah berhubungan dengan orang lain, mencari pasangan dan teman tidur semudah swipe kanan dan swipe kiri, bahkan ketika jasa fuckbuddy bisa dengan mudah dipesan dan dirating, justru seseorang akan sulit untuk mendapatkan teman hidup. Apakah ini yang disebut anomaly dunia digital? Apakah ini efek disrupsi dari maraknya digitalisasi di semua bidang kehidupan. I cant tell but for sure, yes it might be like that way.
Berawal dari Propaganda
Saya lupa sejak kapan tepatnya ada sticker maupun slogan yang mempromosikan ‘being single and happy’, yang saya ketahui adalah saya mulai sadar dengan slogan itu ketika membaca novel-novel chick lit yang diterbitkan gramedia. Novel ‘chick lit’ pertama yang saya baca adalah ‘Confession of Shopaholic’ yang saya baca sekitar tahun 2008, sebelum itu sudah banyak novel-novel yang bergenre chic lit. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Kasno dan Mujiningsih dari Universitas Nasional menyebutkan jikalau Novel Chick Lit yang biasanya memiliki tagline “being single and happy” berawal dari terbitnya novel Bridget Jones Diary pada tahun 1997 di Inggris oleh Helen Fielding. Novel yang lalu difilmkan dan laris dipasaran ini lalu berhasil mengerek penulis-penulis wanita yang lain untuk ikut serta menulis tentang kehidupan wanita di abad modern yang biasanya single, memiliki karir yang mapan dan bahagia dengan kehidupannya (Kasno & Mujiningsih, 2016). Walaupun tetap saja tokoh-tokoh dalam cerita-cerita ini mencari cinta dan menemukan pria.
Kampanye single and happy ini lalu menemukan momentum pada tahun 1998 ketika Sex and The City muncul di televisi. Momen dimana wanita single and eligible bisa menentukan pilihan untuk bahagia menjadi diri sendiri tanpa perlu mengikuti ego maupun keinginan dari pasangan, memiliki kehidupan bebas, dan teman-teman yang mendukung satu sama lain.
Baik Bridget Jones maupun Sex and The City keduanya bisa dikatakan sebagai trigger dari munculnya apa yang disebut sebagai fenomena single life. Wanita yang memiliki hak untuk mengatakan ya dan tidak, menjadi semacam aktor utama yang menentukan apakah suatu hubungan bisa terjadi atau tidak. Kampanye maupun promosi single life baik oleh bacaan maupun tayangan televisi setidaknya mempengaruhi pola pikir dan tindakan yang dilakukan oleh audience sehingga proporsi wanita yang memiliki hubungan dan menikah semakin menurun (Benady, 2013).
Temuan ini selaras dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nancy Smith Hefner dari Boston University yang melakukan penelitian di masyarakat Asia yang kini menurutnya cenderung “menunggu” untuk menjalin relationship. Alhasil wanita dengan rata-rata usia awal 30 sampai dengan awal 40, kemungkinan melajang. Nancy yang juga meneliti di Indonesia ini seakan memotret betul pergeseran usia pernikahan yang ada di Asia, sebelum tahun 2000 an, sangat mudah mendapati pernikahan dini dimana sang mempelai wanita biasanya berusia dibawah 25 tahun dan bahkan dibawah 20 tahun, sementara sang mempelai pria dibawah usia 25 tahun. Kini terjadi pergeseran, usia pernikahan yang terjadi rerata diangka 28 hingga 35 tahun.
Di India, propaganda wanita karir yang sukses dalam pekerjaan dan mendapatkan laki-laki idaman juga mewabah di berbagai lapisan kasta. Di negara di mana sering terjadi pelecehan seksual karena adanya stereotip yang melanggengkan kuasa laki-laki atas perempuan kini cenderung mampu untuk menekan angka pernikahan dini. Terima kasih kepada Tim Hardford yang meneliti kecenderungan perubahan pola relasi antara laki-laki dan perempuan di India. Tim yang menulis temuannya ini dalam buku Undercover Economist mengemukakan hal yang relative sama dengan Benady, bahwa kampanye single life melalui televisi dan media media konvensional lagi turut mempengaruhi secara signifikan perubahan itu bahkan efeknya lebih besar dibanding kampanye maupun program program pemerintah.
Iyengar dan Kinder merangkum fenomena diatas pada sebuah teori yang disebut dengan Agenda Setting, Priming dan Framing. Iyengar dan Kinder mengemukakan bahwa priming adalah upaya media mempropagandakan sesuatu secara berulang-ulang di televisi maupun media lainnya yang akan berujung pada pilihan politik seseorang. If personal is also politics, maka pilihan seseorang untuk menunda pernikahan dan atau melajang adalah juga persoalan politik yang akan berdampak pada masyarakat. Oleh karenanya penulis berpendapat bahwa propaganda single life yang bermula dari kampanye being single being happy yang tercermin melalui buku dan tayangan televise secara signifikan berdampak pada keputusan seseorang untuk hidup melajang dan menunda usia perkawinan. Alhasil propaganda single life ini berujung pada fenomena global di India, Asia Timur, Amerika dan Eropa.
Tuntutan Hukum Patriarkhi
Sementara di sisi lain, dari perspektif laki-laki, ada pertentangan yang terjadi antara hukum alam dengan hukum artifisial buatan manusia. Laki-laki secara naluriah ingin memiliki banyak wanita dalam hidupnya. Primal insting laki-laki menuntun pejantan untuk bisa mendominasi banyak wanita, adalah suatu kebanggaan atau bisa disebut machoisme apabila laki-laki bisa berkencan dengan banyak wanita. Womanizer, atau bisa disebut mengkoleksi beberapa wanita untuk dijadikan pacar atau sekadar teman tidur adalah istilah jamak yang sering ditemui.
Pada zaman dulu, para raja, sultan maupun kaisar cenderung memiliki banyak selir sebagai simbol dominasi. Tak sedikit para selir maupun permaisuri raja yang merupakan puteri kerajaan tetangga yang menandakan kekuasaan sang raja atas wilayah tersebut. Pola ini cenderung berubah dengan gaya berbeda ketika memasuki zaman modern, laki-laki pada zaman sekarang cenderung meniduri banyak wanita dengan sedikit atau bahkan menghindari komitmen pernikahan. Dalam beberapa budaya populer yang ditampilkan di televisi, walaupun tidak menggambarkan secara keseluruhan, banyak penghuni fraternity atau penghuni asrama laki-laki yang gemar maupun mempertontonkan seberapa banyak wanita yang berhasil ditidurinya, dan menurut budaya itu, itu adalah lambang machoisme, atau simbol kejantanan pria yang patut untuk dibanggakan.
Namun faktanya, semakin banyak laki-laki yang mudah mendapatkan wanita untuk dijadikan teman tidur dan sebaliknya, tidak berarti kemudian angka pernikahan naik, namun justru semakin menukik tajam. Laporan terbaru dari Pew Research Center menyebutkan jikalau terjadi penurunan pernikahan sebesar 8 persen sejak tahun 2007, hanya setengah dari warga amerika yang menikah, laporan dari Pew Research juga menyebut angka menunda pernikahan hingga usia 30 tahun, meningkatnya perceraian yang diiringi dengan tumbuh suburnya gaya hidup cohabitation, dimana laki-laki dan perempuan hidup seatap tanpa ada ikatan pernikahan (Geiger & Livingstin, 2019).
Ada apa dengan anomali ini, ketika orang semakin mudah untuk menemukan teman kencan, tapi fenomena sebaliknya menunjukkan jikalau hubungan yang stabil dalam jangka panjang justru semakin menurun? Bisa jadi jawabannya adalah bahwa hukum artifisial yang dibuat oleh laki-laki sendiri justru membuat laki-laki merasa tidak nyaman dan bahkan menghindari pernikahan, alhasil angka cohabitation naik, gaya hidup single life juga naik, yang secara bersama-sama berkorelasi membentuk apa yang disebut dengan epidemi kesendirian.
Sudah sejak lama bahwa laki-laki dituntut dan diajarkan untuk bisa memimpin dan melindungi wanita, dan hukum pun dibuat oleh para laki-laki untuk mengakomodir kepentingan wanita. Sejak konvensi Seneca Fall pada tahun 1848, desakan kaum wanita untuk bisa diberi peran yang lebih berarti dalam kehidupan politik pada akhirnya membuat hukum-hukum yang membatasi gerak naluri laki-laki. Sebagai contoh undang-undang pernikahan di AS memberikan hak yang sangat eksklusif kepada perempuan, jika dalam perjalanan pernikahan terjadi perceraian maka laki-laki dituntut untuk memberikan rumah dan tunjangan kelarga (apabila sudah memiliki anak) sampai anak itu dewasa. Hal ini pada akhirnya membuat laki-laki merasa takut untuk menikah karena kerugian finansial yang bakal dihadapi. Undang-undang di AS sendiri akan menghukum pria apabila ia terbukti menjadi suami dan ayah dalam keluarga namun tidak memberi nafkah. Tidak main-main hukumannya, sang suami akan di penjara hingga maksimal 20 tahun. Tentu ini memberatkan pria.
Hukum pernikahan ini, walaupun disahkan oleh mayoritas senat dan anggota DPR di Amerika yang mayoritas laki-laki, merupakan batasan atas insting dasar laki-laki dan justru memberikan ruang yang sangat lebar kepada wanita untuk memanipulasi arti pernikahan. Akhirnya di Amerika sendiri, gerakan no marriage movement, cohabitation sampai dengan red pills movement menjadi pilihan bagi pria. Laki-laki di Amerika Serikat lebih memilih untuk bebas hidup dengan wanita tanpa aturan-aturan hukum yang membebani laki-laki.
Alhasil, cohabitation atau hidup bersama dalam satu atap tanpa adanya ikatan pernikahan menjadi marak di Amerika Serikat. Cohabitation atau living together atau dalam bahasa indonesianya, kumpul kebo menjadi pilihan karena, laki-laki maupun perempuan bisa bebas untuk memutuskan hubungan tanpa tuntutan hukum, dan hasilnya lagi dan lagi menjurus pada hidup sendiri.
Teknologi, Dua Sisi Mata Pisau
Sementara di sisi lain, teknologi justru menguatkan desire manusia untuk hidup sendiri, alih-alih memudahkan manusia untuk berhubungan satu sama lain. Teknologi ibarat dua sisi mata pisau kaitannya dengan hubungan manusia, pertama dia sangat berguna, sangat memudahkan manusia untuk saling menghubungkan, menghapus jarak ribuan kilometer tanpa mengenal batasan negara, namun ada sisi buruk dari teknologi, justru karena sangat memudahkan manusia untuk berhubungan, manusia menjadi sangat malas untuk sekadar bertukar sapa. Texting is easier than talking.
Sebagaimana yang kita ketahui, baik John Kaum maupun Marc Zuck sama-sama menciptakan teknologi fenomenal, John Kaum menciptakan whatsapp untuk memudahkan dirinya berkomunikasi dengan keluarganya di Ukraine, sementara Marc menciptakan Facebook untuk memudahkan orang saling mengenal di lingkungan Harvard, walaupun kemunculan teknologi ini dan semcamnya memang membuat orang saling tekoneksi, namun kenyataannya orang justru mengalami perasaan kesepian daripada sebelumnya.
Penelitian yang dilansir oleh TheEconomist menyebutkan bahwa smartphone yang dilengkapi dengan kemampuan internet dan aplikasi sosial media memang menjadi scapegoat di mana anak-anak muda lebih suka berkomunikasi online daripada bertatap muka, namun masalahnya mereka merasa lebih kesepian daripada sebelumnya. Bercakap cakap secara online, memperhatikan kurasi foto di sosial media, maupun bermain game sosial, justru membuat mereka lupa akan sesuatu, dan akhirnya membuat mereka menjadi kesepian.
Teknologi-teknologi yang hadir pada dasarnya membuat ego manusia semakin besar. Manusia cenderung tidak menginginkan emosi negatif seperti marah, kecewa, patah hati dan lain sebagainya, manusia beralih ke teknologi yang sepenuhnya steril dari emosi. Alhasil manusia berlomba-lomba menciptakan tekologi untuk mendukung itu. Di Jepang selain dibuat Aibo, robot hewan, sedang dikembangkan pula robot Paro di mana manusia bisa bercerita tanpa dikecewakan oleh si robot. Film-film Hollywood mencoba menampilkan laki-laki sukses namun tinggal di apartemen yang ditemani oleh wanita hologram. Bahkan sependek yang penulis tahu, sedang dikembangkan alat dimana teknologi tersebut bisa menstimulasi hubungan seksual dengan bantuan hologram. Tapi pertanyaannya, bisakah Puro, hologram dan lain sebagainya menampilkan senyum yang tulus, menghadirkan pelukan yang hangat layaknya manusia, atau pujian gombal. Tentu tidak bisa. Faktor emosi yang ada di dalam diri manusia tidak bisa dihadirkan dalam teknologi, artinya manusia tetap membutuhkan hubungan dengan manusia.
Oleh karenanya penulis menganggap wajar jikalau di London baru-baru ini sedang nge tren hangout bersama yang diorganisir oleh suatu organisasi. Tujuan organisasi ini tak lain dan tak bukan adalah mencoba menghubungkan orang-orang baik tua dan muda dalam satu perbincangan yang intens. Yang penulis ketahui, tujuan utamanya adalah mengobati orang-orang yang merasa sendirian. Alamak ternyata obat sendirian itu gampang ya, cukup berbincang ataupun menyapa orang-orang yang kamu kenal ataupun orang asing.