Love, Marriage, Relationship

Divorce Is Not a Sin

Written by saumiere

Ada satu anomali yang berkembang di masyarakat Indonesia, setidaknya ketika penulis melakukan riset ini, bahwa orang menganggap lumrah hubungan seksual yang tersembunyi, misalnya antara dua orang laki-laki dan perempuan, asal tidak sampai hamil, sementara masyarakat menganggap negative dan bahkan menjadi poin buruk bagi seseorang apabila ia telah bercerai dari pasangannya. Padahal konsekuensi hukum dan agama bagi perzinahan (walaupun dilakukan  dengan konsen) tetap bisa dipidana dan haram, sementara cerai, legal dan halal. Dua hal yang jelas berbeda ini ternyata bisa mendapatkan persepsi yang berbeda di masyarakat.

Sebut saja namanya Hidayatullah, seorang doktor dibidang hukum ini ditolak mayoritas anggota senat fakultas di suatu universitas negeri ternama di Jakarta hanya karena ia pernah bercerai dengan istrinya, parahnya anggota senat mengusulkan klausul “tidak pernah bercerai” yang mengganjal pencalonan Hidayatullah sebagai Dekan. Layaknya gossip, desas desus kehidupan pribadi Hidayatullah pun lalu jadi perbicangan semua dosen dan bahkan karyawan. Mahasiswa yang tadinya tidak tahu menahu lalu tahu dan parahnya, desas desus itu lalu ditambah-dan dikurangi tergantung keakuratan info tersebut.

Padahal penulis tahu betul bahwa Hidayatullah, lulusan kampus dari Belanda itu memutuskan bercerai karena memang sudah tidak cocok satu sama lain, terjadi perselisihan terus menerus, sehingga keduanya memutuskan bercerai. Hal yang diperbolehkan oleh hukum positif dan menjadi satu-satunya jalan yang diperbolehkan dalam agama Islam. Tapi hal itu kemudian dipandang oleh masyarakat sebagai kegagalan dalam membina rumah tangga, dan menjadi aib di masyarakat.

Masih dibelahan dunia yang sama, seorang penyanyi band ternama di Indonesia yang kegantengannya membuat banyak wanita rela tidur dengannya, dielu-elukan dan dibela oleh fansnya, laki-laki dan perempuan, sebagai orang yang tidak bersalah atas kasus video seks yang menimpanya. Para fans nya berargumen bahwa urusan selangkangan bukan urusan negara, argument lain bahwa mereka berdua melakukannya atas dasar suka sama suka dan tidak bisa dipidana.  Walaupun sang penyanyi pada akhirnya harus masuk penjara dengan klausul turut ikut serta menyebarkan video porno ke internet, tetap saja di hari kebabasannya, para pendukung band tersebut tetap setia dengan grup band tersebut, bahkan lagu-lagunya tetap bertahan di industri music. Anehnya tidak ada yang menganggap hubungan seksual di luar penikahan tersebut sebagai hal negative, bahkan dianggap “pemersatu bangsa”.

Anomali ini juga berlaku dalam hal poligami atau prostitusi, nikah siri atau living together. Kita akan melihat polarisasi yang sangat tajam dengan perbandingan suara mayoritas mengarah ke living together dan prostitusi[1]. Enam dari sepuluh orang memilih mereka lebih menyukai menyewa jasa pekerja prostitusi, baik perempuan maupun laki-laki dibandingkan poligami dan memilih hidup bersama dengan pacar dibandingkan nikah siri. Catatan dari penelitian ini adalah, mayoritas memilih demikian jika dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Pertanyaannya, apakah negara ini benar-benar hypocrite? Ya kita mengutuk prostitusi tapi juga memiliki lokalisasi terbesar di Asia Tenggara, ya kita mendukung blokir terhadap situs-situs porno sementara Indonesia adalah salah satu pengakses terbesar di situs dewasa seperti Pornhub dsb.

Pertanyaannya, apakah negara ini benar-benar hypocrite? Ya kita mengutuk prostitusi tapi juga memiliki lokalisasi terbesar di Asia Tenggara, ya kita mendukung blokir terhadap situs-situs porno sementara Indonesia adalah salah satu pengakses terbesar di situs dewasa seperti Pornhub dsb.

Paradoks ini setali tiga uang dengan masalah perceraian dan perzinahan, kita memandang orang yang bercerai dengan persepsi negative dibandingkan dengan perilaku casual sex yang dilakukan diam-diam. Seorang pemuda yang tinggal sendiri atau wanita karir yang tinggal di apartemen dengan membawa pasangannya didiamkan seolah-olah tidak tahu atau mungkin membicarakannya dibelakang tapi dengan derajat kesinisan yang berbeda dengan perceraian.

Pertanyaannya apakah masyarakat di negara ini memiliki nilai-nilai yang sebenarnya berbeda dengan nilai yang selama ini diagung-agungkan di media seperti adat ketimuran ataupun moral agama.

Scarlett Letter Syndrome

Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis mengingat betul salah satu mata kuliah Sastra Amerika di Kajian Amerika, Universitas Indonesia. Professor saya, seorang perempuan dengan rentang usia diatas 50 tahun, menjelaskan tentang novel klasik Amerika karangan Nathaniel Hawthrone yang bercerita tentang kemunafikan bangsa Amerika pada saat itu yang masih memegang nilai-nilai puritan. Di ceritakan seorang perempuan bernama Hester yang sudah bersuami namun sedang dalam tugas berperang, mendadak hamil dan melahirkan tanpa adanya suami di sisinya.

Masyarakat tempat di mana Hester tinggal, Boston, Massachusetts, masih berpegang teguh pada ajaran puritan yang memandang perzinahan adalah dosa, oleh karenanya warga menuntut hukuman atas kejadian yang menimpa Hester. Adalah Arthur Dimmesdale seorang minister atau pastur yang menyelenggarakan acara keagamaan di gereja tempat Hester berdoa, menjalankan perminataan warga, dia memimpin persidangan dan kemudian menjatuhkan hukuman kepada Hester. Hukumannya adalah berdiri di tiang kayu dibawah terik sinar matahari selama tiga jam dan harus mengenakan tanda huruf A (adultery) selama sisa hidupnya.

Anehnya, Hester yang diminta berbicara dan mengungkap siapa laki-laki yang behubungan dengan dirinya, memilih berdiam dan menolak mengungkap siapa ayah dari anak yang dikandungnya. Aksi diamnya ini terus berlanjut hingga anaknya tumbuh dewasa. Anak Hester, Pearl pada suatu waktu menuntut penjelasan huruf A yang dikenakan oleh ibunya, karena Pearl tumbuh dalam kesendirian, ia tidak memiliki teman dan seperti dijauhi oleh masyarakat. Putus asa oleh keadaan, Pearl akhirnya bertindak diluar kewajaran dan batas norma yang berlaku di masyarakat, hingga akhirnya dewan gereja memutuskan bahwa Pearl harus dijauhkan dari ibunya.

Hester tidak terima dengan saran seperti itu akhirnya mendatangi Arthur Dimmesdale yang merupakan teman dekat Gubernur Bellingham. Dimmesdale meyakinkan Bellingham bahwa Pearl tidak akan seperti Hester dan memutuskan bahwa gereja tidak akan mengambil Pearl dari Hester.

Ihwal akhir cerita ini adalah, ketika Arthur Dimmesdale, seorang pastur kebanggaan warga Boston jatuh sakit tanpa diketahui jenis penyakit dan obatnya. Warga mendatangkan Chillingworth, seorang dokter, yang dulu juga mengobati dan menikahi Hester, untuk mengobati Dimmesdale. Chillingworth mengungkap penyakit yang diderita oleh Dimmesdale, bahwa ada beban psikologis yang diderita Dimmesdale sehingga membuatnya sakit terus menerus. Hingga pada satu waktu, Chillingworth melihat di dada Dimmesdale sebuah huruf A yang sama dipakai oleh Hester.

Dimmesdale pada akhirnya mengakui dalam sebuah kesempatan, dimana dia menaiki pancang kayu tempat di mana Hester dulu dihukum, bahwa dia adalah ayah dari Pearl dan siap untuk dihukum. Dalam sakit dan kelelahan, Dimmesdale meninggal dalam pelukan Hester.

Apa yang bisa dijadikan jawaban dari kisah Hester dan Dimmesdale, atas pertanyaan penulis di atas. Bahwa bisa jadi, di negara dengan tingkat praktik keagamaan yang ketat, untuk bisa dikatakan konservatif, masyarakat cenderung bersikap hipokrit. Dimmesdale, seorang tokoh gereja puritan pada akhirnya adalah seorang pezina. Apakah warga Indonesia yang cenderung konservatif ini kebanyakan adalah seorang hipokrit.

Jangan-jangan selama ini masyarakat Indonesia secara diam-diam memilih prostitusi dibanding poligami, memilih perzinahan dibandingkan perceraian dan memilih seks bebas dibanding kawin siri.

Silver Linings.

Let me clear one thing, saya adalah pendukung pro creation dibandingkan pro choice. Saya mendukung perceraian dibandingkan perselingkuhan, mendukung nikah siri dibanding seks bebas, saya mendukung poligami dibanding prostitusi. Memang seharusnya, idealnya seperti film-film Disney, dimana semua hidup harus berakhir happily ever after. Dimana masyarakat tidak ada perceraian, dimana tidak ada perselingkuhan, tidak ada prostitusi, tidak ada seks bebas, tidak ada poligami, yang ada adalah cinta dan kebahagiaan. Tapi dalam kehidupan, tidak ada utopia seperti itu. Happines isn’t seem on the menu. Kebahagiaan itu tidak seperti memilih menu makanan. Kita harus memilih salah satu sebagai sarana untuk mendapatkan kebahagiaan.

Saya adalah orang yang memilih untuk bercerai dibandingkan menikah tapi melakukan perselingkuhan, saya memilih bercerai dibandingkan hati tidak lagi merasa cocok dan kemudian menderita kesakitan mental yang luar biasa.

Saya menikah di usia saya yang sudah cukup untuk menikah, yakni di usia 28 tahun pada tahun 2015, setamat saya lulus program pasca sarjana di Universitas Indonesia. Saya adalah laki-laki yang berasal dari kampung. Berasal dari keluarga pedagang mie ayam dan pedagang pasar, tidak kaya, motor yang mampu saya beli adalah motor bekas dari pekerjaan saya sebagai tim admin di perguruan tinggi. Tidak ganteng, cenderung kurus kerempeng dengan wajah penuh bopeng. Saya memiliki rasa percaya diri yang rendah. Sehingga ini menyebabkan saya tidak memiliki keberanian untuk bisa mendekati perempuan.

Ibu saya mengetahui permasalahan ini, dan dia menerima ajakan perjodohan oleh teman masa kecilnya, seorang pedagang besar yang menyandang hajjah. Saya setuju saya dengan perjodohan dan pernikahan ini dengan satu syarat bahwa pernikahan ini harus dilandasi oleh prinsip “menerima saya apa adanya” karena saya adalah orang dengan penuh kekurangan. Gaji saya hanya cukup mengontrak petakan rumah, dan makan sehari-hari. Tidak cukup untuk bermewah-mewah.

Pernikahan itu pada prakteknya hanya berjalan dua tahun, mantan istri saya tidak bisa menerima kelakuan saya yang menurut dia, tidak shalat, sehingga tidak bisa dijadikan imam dalam keluarga, walaupun dalam gugatan pengadilan, salah satunya saya digugat karena tidak bisa memberi kehidupan ekonomi yang cukup. Saya tidak melakukan perlawanan di dalam gugatan itu, biarlah pengadilan melakukan putusan verstek karena pada dasarnya pernikahan ini telah retak sejak awal pernikahan. Dusta telah menjadi dasar dalam penikahan ini. Saya memilih cerai dibandingkan pernikahan yang penuh dengan dusta.

Salah seorang kerabat kemudian bertanya, kalua kamu cinta sama dia, kenapa tidak mempertahankan pernikahan itu, lalu saya balik, cinta harus saling berbalas, cinta yang bertepuk sebelah tangan sangat menyakitkan apalagi jika cinta bersyarat. Saya tidak mau mengemis cinta.

Saya tidak mau mengemis cinta adalah titik kesadaran saya untuk pada akhirnya melepaskan ikatan pernikahan itu. Alasan saya adalah bahwa perceraian bukan sebuah dosa. Ia adalah salah satu cara terbaik yang diberikan tuhan apabila dua insan manusia sudah tidak bisa sejalan lagi dalam biduk rumah tangga. Perceraian sah dan legal baik dalam hukum positif dan hukum agama. Dia tidak menyalahi norma hukum dan norma agama. Walaupun dalam praktiknya seperti yang penulis uraikan diatas, norma social bisa berbeda dengan norma agama dan norma hukum. Sangat berkebalikan. Saya memilih berpegang pada norma agama dan norma hukum.

Divorce is not a Sin

Perceraian bukan dosa, logikanya karena bukan dosa seharusnya ia bukan aib. Namun entah mengapa norma social bisa berjalan sangat berbeda dengan norma agama dan norma hukum. Seseorang bisa dijegal jabatannya hanya karena dia pernah bercerai, seorang calon presiden pernah dipertanyakan kemampuannya memimpin negara hanya kerana ia pernah bercerai, bagaimana ia mampu memimpin negara, memimpin keluarga saja tidak bisa. Begitu kira-kira frasa yang terdengar.

Tulisan ini bukan kemudian untuk memprovokasi orang-orang untuk kemudian bercerai. Saya tetap berprinsip, lebih baik menikah dibanding selibat. Tapi jikalau kemudian pernikahan sudah tidak sehat, banyak kebohongan, banyak perselingkuhan, maka agama memberi solusi berupa perceraian, bukan perselingkuhan.

Mengenai stigma social akibat perceraian, barangkali benar cerita Scarlet Letter diatas, di negara dimana tingkat keagamaannya tinggi, barangkali bersikap munafik adalah jalan hidup yang ditempuh. Kita memberi label negative terhadap orang yang bercerai sementara diam-diam melakukan kebohongan dan perselingkuhan.


[1] Penulis melakukan riset dengan jumlah responden yang sangat terbatas dengan ketentuan perlindungan responden. Pertanyaan juga diawali dengan “jika dilakukan dengan sembunyi” atau “dengan terang-terangan”

About the author

saumiere

Leave a Comment