Business & Economics

Monocle, Konservatif Mempertahankan Kualitas

Written by saumiere

Perubahan adalah satu-satunya yang abadi, begitu kata Arthur Schopenhauer, dan oleh karenanya ketika krisis mendera, satu-satunya jalan yang bisa dilakukan oleh dunia bisnis adalah berubah. Tapi kredo ini tidak berlaku untuk Monocle, majalah yang lahir justru saat industri printing, khususnya media cetak menemui ajal. Didirikan pada tahun 2007, ketika internet of things, pelan-pelan memutus urat nadi media cetak, monocle justru hadir dengan versi cetak trendi bernuansa internasional.

Tyler Brule, pendiri sekaligus editor in chief Monocle, dengan lugas mengatakan bahwa media justru akan mati ketika kehilangan identitas dan hanya mengikuti trend digital semata yang justru sebenarnya menurut Brule, tidak memiliki contoh ideal bagaimana media digital bekerja. Brule menambahkan, media digital, dengan segala swipe dan kecanggihannya, tidak terjadi di Washington, Tokyo, maupun London. Hal ini membuat Brule maju menerbitkan Monocle, majalah yang memadukan politik internasional, bisnis, dan kultur.

Tyler Brule, pendiri dan editor in chief Monocle.

Brule tentu tidak sedang bermain gambling ketika ia dengan berani menerbitkan majalah cetak, tatkala newsweek justru tersungkur dan tenggelam dalam versi online. Ia juga dengan seksama memilih media radio dibandingkan podcast di ipad. Veteran perang Afghanistan dengan pengalaman panjang sebagai jurnalis BBC, New York Times dan Financial Times ini memiliki perspektif yang berbeda dengan pemain media yang lain. Brule berkeyakinan bahwa perbincangan dan hubungan justru akan terbangun dengan baik tanpa digitalisasi. Tentu Brule menggunakan email, tapi dia dia tidak menggunakan social media untuk berkoneksi dengan pembacanya. Dengan kata lain, Brule menganggap digitalisasi mengganggu (Lüdtke, 2016).

Berbekal keyakinan dan sederet pengalaman yang ia miliki, Monocle menangguk sukses ketika Nikkei, grup penerbitan di Jepang membeli 5% stock Monocle yang setara dengan nilai 70 juta poundsterling, hal yang sangat fantastis mengingat, Brule memulainya dengan modal hanya 3 juta pounstreling. Kini, Monocle memiliki jaringan ritel kioskafe, station radio, dan beragam jenis seri penerbitan lain yang tidak kalah menarik dengan Monocle, ada The Escapist, The Enterpreneur, Forecast, dan Travelling Books series (Ashton, 2014).

Krisis Brexit

Tahun 2019 adalah tahun krusial bagi Monocle tatkala pemerintahan Inggris memutuskan untuk meninggalkan Uni Eropa. British Exit berarti bahwa perdagangan dan mobilitas warga antara Inggris dan Uni Eropa akan sedikit terganggu, tentu ini akan mengganggu bisnis dan produksi diantara kedua wilayah teritori tersebut. Monocle, yang menjual produk dengan currency Pound sterling, memiliki basis produksi di Inggris, berkantor di Jerman dan memiliki banyak kantor biro di beberapa negara mau-tak mau sedikit terganggu.

Copyright by Monocle

Andrew Tuck, koresponden Monocle membayangkan akan banyak supply kertas dan produk yang akan terganggu di Dover, Pelabuhan Inggris. Oleh karenanya, April 2019 adalah waktu ketika Monocle mengubah basis produksi di Inggris berpindah ke Jerman, dengan tetap mempertahankan dan bahkan meningkatkan kualitas kertas dan cetakan majalah Monocle. Tuck mengatakan, Monocle memilih kertas terbaik, tinta terbaik dengan packaging yang tidak kalah dengan produksi di Inggris, bahkan lebih baik. Hal ini berimbas pada kenaikan harga yang sedikit mahal dibanding edisi terdahulu (Tuck, 2019).

Pertanyaannya, apakah hal ini berpengaruh terhadap kualitas dan penjualan. Jackie Deacon, direktur produksi Monocle mengatakan, justru produk terbaru lebih lavish dan tetap trendi. Mengenai hasil penjualan, seperti filosofi Tyler Brule, dia berkeyakinan produk dengan kualitas terbaik memiliki niche sendiri. Hasilnya, 77000 sirkulasi terjual setiap bulannya dengan 20.000 cetak setiap minggunya. Krisis tidak menghentikan prinsip konservatif monocle yakni mempertahankan kualitas.

About the author

saumiere

Leave a Comment