Salah satu mantan kadiv saya mengirimi ucapan selamat atas terseleksinya saya sebagai cpns di lingkungan Kementerian Pendidikan. Saya hanya bisa membalas ucapan terima kasih, padahal masih terngiang betul dia mengatakan “apa urusannya Saomi ikut rapat” atau ucapan merendahkan seperti “otaknya Saomi ngebul” “Saomi gak produktif” dan ucapan mementahkan mental lainnya. Memang ya success is the best revenge. Sampai sekarang permintaan pertemanan di facebook dan permintaan connect di LinkedIn tidak saya approve.
Saya menamainya “the devil wears adidas”, terinspirasi dari film The Devil Wears Prada, bosnya Andrea Sachs yang selalu memakai sepatu Prada, kasubdiv saya seorang wanita yang belum menikah di usianya yang lebih dari 45 tahun, selalu menggunakan pakaian sportynya bermerek adidas, foto profil sosial medianya menampilkan sepatu adidas kesayangannya. Bahkan semua perhiasannya emas putih, arlojinya bermerek fossil atau esprit.
Ada suatu masa dimana saya ke kantor seperti tidak bergairah, semua mata memandang ke saya seakan saya adalah orang paling bersalah, saya dikasihani, beberapa datang ke saya mengatakan “sabar ya memang dia orangnya sensitif”. Masih ingat betul teman kantor mengatakan “tetap tenang, don’t crack under pressure” ketika saya betul-betul sedang dalam masa krisis hebat. Saya diancam akan di SP, akan dilaporkan ke direktur, dan bahkan ketika saya mengajukan diri untuk dimutasi, dengan marahnya dia akan menahan saya selamanya di subdivisi dia. Seakan dia memiliki kuasa hebat.
Saya tahu saya akan bermasalah ketika dengan gampangnya saya “jalan-jalan sendirian di kota Solo” dimana seharusnya saya sedang dalam “perjalanan dinas”, walaupun jalan-jalan saya dilakukan di jam-jam selesai dinas, semakin kerasa lagi ketika untuk kedua kalinya saya makan malam sendiri ketika tim sedang makan-makan bersama, lebih parah lagi saya tidak ikut “gladi resik”, membuat bos saya marah dengan caranya sendiri. Mengkorek detil kesalahan saya yang diperbuat dengan bumbu bumbu drama yang tidak perlu.
Perjalanan karir selama sepuluh tahun lebih memberi sinyal bahwa ada masalah personal antara saya dan bos saya. Ketika semua pekerjaan saya tidak beres, dan bahkan cenderung selalu salah. Ketika saya diperlakukan berbeda dalam hal izin dan keterlambatan, atau ketika terjadi penekanan dalam hal-hal kesalahan yang saya perbuat di ruang percakapan grup chat kantor, sinyal-sinyal ini secara tegas menerangkan bahwa bos saya marah dengan caranya sendiri, saya tidak disukai dan cenderung dibenci.
As a man, saya diajarkan untuk berjalan tegap, tidak komplain dan tetap menunjukkan diri sebaik mungkin ketika dihadapkan pada suatu masalah. Oleh karenanya saya terus bekerja walaupun mengalami perlakuan sinis, unfair, dan cenderung didiskriminasi. Saya memperbaiki kesalahan saya dengan cara datang paling pagi, jam 7 pagi saya sudah datang ke kantor, hasil pekerjaan saya lebih dari empat kali saya cek dan perbaiki betul-betul untuk mendapatkan hasil “zero mistake”. Tapi apalah daya, peribahasa mengatakan “gajah dipelupuk mata tidak tampak, semut di seberang samudra terlihat” yang artinya kalau orang sudah tidak suka, maka kesalahan sekecil dan seremeh apapun akan jadi besar dan fatal, sementara kalau disukai, kesalahan fatal dan berulang akan diabaikan.
Perlakuan itu terus menerus berlangsung selama lebih dari tiga bulan. Satu bulan pertama saya memperbaiki diri secara konstan dan kontinyu. Bulan kedua dan ketiga saya sudah mulai kena mental, tanda-tandanya saya sudah mulai nerveous terhadap hasil pekerjaan saya, saya tidak lagi memiliki confidence yang cukup untuk berbicara dengan cara meyakinkan. Puncaknya, saya membuat kesalahan yang sebenarnya sudah dicek dan sudah diparaf oleh ‘the devil’ itu sendiri, yang membuat ‘the devil’ murka dan mengancam akan meng ‘sp’ kan saya, ancaman itu berlangsung di jam 12 malam, saat saya sedang bersiap tidur. Suatu perilaku yang membuat saya kemudian berkata, ‘enough is enough’. Istri saya bahkan sampai kaget bahwa perilaku atasan saya tersebut sudah melewati batas.
Dari sana saya kemudian memutuskan untuk berani dan mulai speak up, saya mulai membuka diri kepada rekan-rekan kerja yang lain, membuat coping mechanism saya bekerja. Ada kalanya saya membuat perlawanan dengan memutuskan untuk break sehari alias madol karena efek ancaman-ancaman psikis yang nyata-nyata membuat asam lambung naik. Saya berani speak up ke manajemen dengan membawa-bawa bukti, bahkan berani berbicara dengan direktur untuk masalah-masalah drama recehan seorang wanita tua gak laku.
Saya bahkan berani berbicara dengan the devil itself, memutuskan bahwa mutasi kepegawaian adalah solusi terbaik daripada saya dan dia tidak bisa berdamai dengan cara-cara profesional. Saya selalu bilang, saya ada salah silakan koreksi, silakan marahi, tapi jangan menyiksa mental saya hingga tiga bulan, itu merusak stabiltas mental. Akhirnya sang devil yang selalu memakai adidas itu murka dan berjanji akan memenjarakan saya di subdivisinya selamanya.
Aksi ini membuat drama kantor panas, orang-orang mulai mendekat dan menyampaikan simpati, tidak sedikit yang memandang tatapan sinis dan banyak juga yang memandang tatapan penuh iba. Bagi saya tidak masalah, yang terpenting adalah kesehatan mental. Saya selalu mempropose mutasi adalah solusi yang baik kepada kolega, manajemen dan bahkan direksi. Proposal itu berbuah manis, saya bebas dari wanita busuk itu, saya dimutasi ke bagian yang lebih baik dengan jabatan dan profesi yang tidak receh. Bye bye The Devil Wears Adidas, ancamanmu tidak laku seperti dirimu yang tidak laku.
Silver Linings on Mental Health
Im writing this as a coping mechanism, melepaskan semua amarah dan juga dendam atas perlakuan tidak adil yang pernah saya terima. Ini penting supaya kesehatan mental dan fisik saya terjaga. Bagi yang menganggap kesehatan mental adalah isu receh, sebetulnya salah besar. Pressure tinggi yang mengakibatkan seseorang stress dengan efek eating disorder dan bahkan hingga penyakit lambung adalah warning bahwa kesehatan mental sangat penting dan tidak bisa diremehkan.
Dalam banyak hal, saya memang terkesan “quit”, tapi sejujurnya pilihan-pilihan saya didasarkan pada alasan yang lebih penting daripada sekadar uang ataupun yang lain. Kesehatan fisik dan mental, keseimbangan mind, body and soul adalah jauh lebih penting daripada sekadar mendapatkan segepok uang banyak tapi kemudian mengalami mental corrupt yang acute. Ingat, mental yang korup akan terbawa dalam perilaku keseharian, pola pikir, dan sudut pandang, yang pada akhirnya akan berakhir pada bagaimana anda memperlakukan keluarga dan orang-orang yang anda sayangi.
Selamat Hari Kesehatan Mental se Dunia.