Catatan Harian

When I Face Hard Choices

Written by saumiere

All of us face hard choices in our lives, Life is about making such choices. Our choices and how we handle them shape the people we become – Hillary Rodham Clinton

Saya dan keluarga sedang menikmati hidangan sushi pada minggu sore di tahun baru, 1 Januari 2022, ketika jari-jemari ini yang memang tidak sabar menunggu pengumuman hasil akhir seleksi CPNS di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, mendadak berhenti pada pengumuman teranyar pada laman cpns kemdikbud. Hasil integrasi nilai SKD dan SKB pada laman tersebut menjelaskan bahwa saya dinyatakan lulus cpns tahun ini, pengumuman yang membuat hati ini berdetak kuat sekaligus meninggalkan lubang yang besar, menyisakan pilihan besar yang harus dipilih.

Saya lahir dari keluarga yang tidak memiliki privilege, hanyalah anak dari seorang ayah pedagang mie ayam keliling dan ibu penjual gorengan di sore hari dan jualan beras di pasar. Tidak sedikitpun ada gambaran bahwa saya pada suatu titik akan menjadi abdi negara. Saya hanya menjalani hidup seperti biasa, sekolah, kuliah dan bekerja. Hanya satu yang menjadi pegangan hidup saya, ibu saya bertekad untuk bisa mensekolahkan anaknya setinggi mungkin, karena ibu saya tidak lulus SD dan menyandang penyakit polio. Saya sebagai anak hanya bisa meneruskan cita-cita ibu saya, supaya memiliki kehidupan yang lebih baik di kemudian hari.

So, I make a lot of choices in many conditions. Saya memilih belajar dengan rajin untuk bisa juara sekolah, saya memilih untuk meninggalkan keluarga di Linggapura untuk menuntut ilmu di Kota Yogyakarta, saya memilih untuk masuk kampus negeri di Jakarta, saya memilih untuk terus menuntut ilmu hingga ke jenjang yang lebih tinggi walau prospek kerja terbentang luas, saya lebih memilih melanjutkan hidup ketika keadilan seperti tidak berpihak. I choose to forgive, in order, to move forward.

This time, I face a hardest choice than before, apakah saya harus mengambil kesempatan menjadi PNS tersebut atau tidak. I said hardest karena penugasan saya sebagai PNS terletak jauh ratusan kilometer dengan perbedaan dimensi waktu, honestly speaking, penempatan saya di Sulawesi Barat, tepatnya Kota Majene. Sementara di Jakarta, saya sudah memiliki kehidupan yang mapan, istri yang baik dan setia, anak yang lucu, karir di lembaga pemerintah dan dosen di kampus swasta. Apalagi yang kurang.

I should tell you that formasi yang pilih adalah Dosen Hubungan Internasional di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sulawesi Barat. Kampusnya memang kalah mentereng dengan UNHAS, tapi spesialisasi ilmu dengan predikat dosen hubungan internasional membuat saya memilih preferensi itu. Kenapa saya memilih formasi itu?

Pertama, sejak sekolah menengah, saya memang bermimpi untuk bisa masuk jurusan Program Studi Hubungan Internasional. Saya ingat, saya ikut UM UGM pada tahun 2005 dengan memilih jurusan HI, namun entah kenapa kandas karena kemampuan bahasa inggris saya yang belum cukup. Akhirnya saya memilih pilihan orang tua saya, kuliah di UIN karena kemampuan ekonomi orang tua saya. Tapi nyala semangat saya untuk membaca dan mempelajari geopolitik dunia tetap ada. Saya memilih untuk putar haluan bidang studi di studi magister. Saya memilih Kajian Amerika dengan harapan saya bisa menjadi ahli Hubungan Internasional.

Namun sejak saya lulus S2 pada tahun 2015, tak sekalipun ada formasi CPNS untuk Ahli Hubungan Internasional dengan latar belakang Kajian Amerika di kampus-kampus maupun kementerian/lembaga lainnya. Ada beberapa kali pembukaan CPNS dengan latar belakang Kajian Amerika tapi sayangnya untuk Dosen Bahasa Inggris. Tahun 2021 ini baru ada formasi Dosen Hubungan Internasional dengan Background Pendidikan dari Kajian Amerika, saya tidak perlu waktu lama untuk kemudian memilih formasi itu. Entah kenapa ketika jemari ini memilih formasi itu, intuisi ini menyatakan dengan jelas, bahwa saya akan lolos.

Kedua, saya bukanlah orang yang lahir dengan privilege. Tidak terlahir dari keluarga crazy rich, tidak memiliki orang tua dangan koneksi pejabat, bukan pula orang yang sangat pintar dengan angka, cenderung menghindari konflik – apalagi konflik fisik, tidak kuat dengan pressure pimpinan yang cenderung menggunakan power abuse. Saya bukanlah orang yang memiliki daya juang andal untuk berwirausaha. Ketidakpastian politik dan ekonomi di negara Indonesia membuat saya akhirnya melabuhkan pilihan untuk memilih profesi CPNS.

Ketiga, pengalaman hidup mengajarkan kepada saya, persis seperti apa yang dikatakan oleh Andrea Hirata dalam karyanya Laskar Pelangi, orang yang menggunakan seragam (PNS, Polisi maupun TNI) memiliki kehidupan yang lebih baik. Saya sudah bekerja lebih dari 10 tahun, 11 tahun 1 bulan tepatnya. Perjalanan karir mengajarkan bahwa paraf PNS lebih berarti dibandingkan tanda tangan seorang direktur perusahaan manapun. Saya pernah bekerja sebagai honorer di Perguruan Tinggi Negeri, saya menyaksikan semua privilege hanya untuk PNS. Saya bekerja di Swasta, yang menandatangani berkas-berkas penting seorang Rektor maupun Dekan adalah PNS. Saya bekerja di Lembaga Kementerian dengan Direktur Utama dan mayoritas pegawainya adalah Pegawai Pemerintah dengan gaji dua digit dan bonus besar, tapi tetap saja jabatan Kuasa Pengguna Anggaran maupun Pejabat Pembuat Komitmen haruslah seorang PNS. Pengalaman-pengalaman ini membuka mata saya, bahwa sepahit apapun menjadi seorang PNS, kehidupannya tetaplah lebih baik di negeri ini.

Ketika saya menceritakan hal ini kepada orang tua, ibu saya menangis, antara terharu dan sedih. Terharu karena anaknya menjadi PNS, sedih karena harus berpisah dengan anaknya, terpisahkan oleh daratan dan lautan yang membentang. Istri saya pun mellow luar biasa. Sedih karena harus berpisah dengan orang yang dicintainya. Bagaimana nanti dengan Sara? Katanya. Tapi saya coba menenangkan, sekarang sudah ada pesawat, jarak Makassar Jakarta hanya 2 jam, tenang saja sayang. Kalimat sebelum tidur yang selalu saya katakan, kita pasti akan kembali bersama. Di Majene kan gak ada mall, gak ada KFC atau McDonald atau Starbucks? Tenang, mamas sudah terbiasa hidup di kampung. Di sana gak ada mobil dan fasilitas mewah? tenang, sudah biasa hidup susah.

Terakhir, buku yang selalu menjadi pegangan saya ketika menghadapi masa-masa sulit, Hard Choices by Hillary Rodham Clinton menuturkan, seperti yang ditulis oleh Secretary Clinton sendiri “one thing that has never been a hard choice for me is serving our country, it has been the greatest honor for my life”.

Akhirnya, saya memilih untuk menjadi CPNS di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan formasi Dosen Hubungan Internasional di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sulawesi Barat.

About the author

saumiere

Leave a Comment