Percaya atau tidak, buku pertama kali yang saya baca adalah kamus bahasa inggris John Echols, dan tentu saya tidak tahu cara bacanya, apalagi artinya.
Cerita itu bermula ketika penulis duduk di kelas empat SD, sewaktu itu salah satu Pak Lik penulis yang kuliah membawa banyak buku untuk disimpan di rumah karena pak lik sudah wisuda. Jadi ada banyak sekali buku, mulai dari diktat kuliah sampai dengan buku-buku bacaan yang sampai sekarang penulis tidak tahu artinya. Maklum bobot bacaannya memang berat karena pak lik penulis adalah seorang aktivis, jadi mulai dari filsafat sampai dengan biografi tokoh terkenal ada. Aku yang penasaran mulai mengeksplorasi lemari penuh buku itu.
Kebetulan dari kecil penulis memang suka membaca. Saya sering sekali membaca majalah Bobo atau ketika bu lik meminjam tabloid Nova, penulis sering ikut membaca walaupun hanya membaca resep masakan atau gosip artis, atau ketika pak lik pulang libur membawa koran, pasti saya ikut membaca walau dengan tingkat pemahaman yang berbeda. Jadi ketika hari itu, datang ber dus-dus buku dan kemudian di jajarkan dalam rak buku, penulis kagum dan ingin ikut membacanya. Penulis ambil buku paling tebal yaitu kamus bahasa inggris John Echols, and you know what, penulis sama sekali tidak tahu artinya dan bagaimana menggunakannya, walaupun sesekali sok melafalkan kata bahasa inggris.
Komentar keluarga pada waktu itu sangat baik, pak lik selalu bilang “anak SD udah baca koran ya, pinter” atau ketika pak lik membenarkan pelafalan / spelling vocabulary bahasa inggris, penulis merasa nyaman dan diapresiasi dengan sebuah buku. Penulis jadi suka dengan buku atau apapun itu yang bisa dibaca, mulai dari majalah (Bobo, Aku Anak Shaleh, Nova) koran (Kompas, Republika) dan buku-buku anak (cerita 25 nabi dan rasul, the frog prince). Bahkan saking cintanya dengan sebuah cerita yang ada di buku maupun yang ada di tv, ada satu kebiasaan lain yang kemudian timbul, yakni menulis. Penulis kemudian jadi suka menuliskan Kembali cerita yang ada di kartun, walaupun jalan cerita dan karakternya kadang agak berbeda tapi penulis senang.
Finding a Voice
Buku mengajarkanku untuk percaya dengan kemampuan diri sendiri tanpa harus iri dengan kemampuan orang lain.
Long story short, penulis benar-benar tersentuh dengan buku ketika saya duduk di sekolah menengah. Penulis adalah siswa dengan kemampuan akademik rata-rata, nilai matematika selalu tidak pernah lebih dari enam, begitu juga dengan fisika dan music yang membutuhkan perhitungan. Mata pelajaran lain pun biasa-biasa saja, kemampuan menghafal, kemampuan atletik, kemampuan seni, semuanya medioker.
Wajar jika setiap kenaikan kelas, ketika buku raport dibagian dan setiap pengumuman siswa terbaik dari masing-masing kelas dibacakan ketika upacara, nama penulis tidak pernah disebutkan, pun ketika seleksi kelas unggulan dimulai, diri ini tidak pernah terseleksi. Mereka yang terseleksi adalah orang-orang yang memiliki kemampuan akademik di atas rata-rata. Nilai matematika mereka paling kecil 7, mayoritas 8, anak-anak kelas unggulan ini selalu jadi perbincangan guru-guru lain dan selalu diikutsertakan dalam setiap kesempatan. Penulis iri dan ingin menjadi seperti mereka, tapi apalah daya, niat hati ingin memeluk gunung, tapi apalah daya, tangan tak sampai.
Akhirnya penulis melupakan saja ambisi itu, apalagi ketika guru wali kelas favorit itu sedikit menawarkan kepada penulis “kamu mau melakukan apa untuk masuk ke kelas unggulan”, penulis pada saat itu memutuskan bahwa saya tidak perlu masuk kelas unggulan untuk menjadi siswa unggul. Penulis meyakini bahwa penulis hanya butuh satu kemampuan yang bisa mengubah persepsi orang akan siswa unggul. Siswa unggul tidak harus pintar, cukup punya satu kemampuan dan berprestasi maka penulis akan menjadi siswa berprestasi. You know what, penulis kembali ke buku dan memutuskan menjadi unggul dengan buku.
Alhasil saya kembali berkutat dengan banyak membaca buku. Kebetulan sekolah penulis dekat dengan Malioboro, jadi penulis suka bermain dan menghabiskan banyak waktu di lapak jual beli buku terbesar di Jogja, Shopping, dan toko buku Gramedia di Mall Malioboro. Ada satu buku yang penulis suka sekali membacanya dan membuat framing akan kehidupan sederhana yang bahagia. Judul buku itu “Little House on The Praire” karangan Laura Ingalls Wilder. Buku itu menghipnotis penulis untuk bisa bercerita seperti si pencerita. Pun ketika penulis membaca buku karya Asma Nadia “Rembulan di Mata Ibu” dan Helvi Tiana Rosa “Serenada Biru Dinda”. Kedua buku yang mengenalkan penulis dengan komunitas Forum Lingkar Pena itu juga turut membara kan semangat penulis untuk terus membaca dan menulis.
Kecintaan saya akan buku ternyata berbuah manis, semangat penulis yang sempat patah arang ketika ditolak masuk kelas unggulan akhirnya terbayar. Buku menghantarkan saya menjadi jurnalis termuda di salah satu majalah di Jogja, menjadi duta sekolah untuk mengikuti kegiatan jurnalisme siswa Kemendikbud di Puncak, pemenang lomba Majalah Dinding antar SMA di Jogjakarta dan bahkan menjadi perwakilan siswa dalam kegiatan aksi literasi mahasiswa Universitas Gajah Mada. Well, the story goes happy ending. Penulis menjadi siswa berprestasi yang diakui sekolah.
Finding Me
Entah kenapa setiap kali saya masuk ke toko buku, apalagi toko buku impor seperti Periplus atau ak.sa.ra, saya merasa menjadi manusia yang berbudaya.
Kecintaan akan buku kembali berbuah manis, tatkala penulis duduk di bangku kuliah. Walaupun Penulis pernah merasa minder tatkala diri ini masuk ke sebuah era hedonisme, lebih tepatnya ketika duduk di bangku kuliah, tapi itu adalah suatu fase. Waktu di mana teman-teman penulis adalah anak-anak orang kaya Jakarta yang setiap minggu atau ada waktu luang nongkrongnya di mall, liburannya ke Puncak atau sekadar mampir ke Distro. Teman-teman penulis gemar sekali membeli baju-baju distro, atau main game di game station, main billiard atau sekadar makan. Sementara kalau penulis ikut, penulis selalu mampir ke Gramedia dan mereka sepertinya tidak antusias.
Ada suatu waktu, dimana kita semua hangout di mall, teman-teman penulis pulang dengan membawa paperbag dari toko baju terkenal, entah itu mereka membeli jaket, sepatu, atau topi, sementara penulis hanya membawa kantong kresek putih berisi buku. Mereka hanya melihat sekilas judul buku dan lalu beralih ke menjajal jaket yang baru dibeli temannya, atau meminjam topi dan lain sebagainya. Karena perbedaan preferensi itulah, penulis kembali merasa terasing, terkucilkan dalam pergaulan anak Jakarta yang notabene lebih menyukai nongkrong di mall.
Tapi berbekal pengalaman di sekolah menengah, dimana buku adalah suara bagi penulis, penulis tetap yakin bahwa buku adalah nilai tambah tersendiri bagi penulis, dan akan membawa penulis dalam pergaulan yang lebih bermakna. Maka penulis berani berinvestasi di buku. Penulis membeli banyak buku, walau itu hanya dibaca setengah atau dibaca tuntas, untuk dikoleksi di kontrakan. Penulis berteman dengan orang yang memiliki minat yang sama. Bergabung dengan kelompok pegiat literasi, kelompok pers mahasiswa, kelompok bloggers dsb.
Ada suatu tuntutan bagi kelompok pers dan literasi ini yakni untuk menulis dengan baik dan kaya akan padanan kata, maka harus banyak membaca. That is why, penulis terus terpacu membaca maupun membeli buku. Karena tidak mungkin bagi penulis untuk membeli buku terus menerus karena keterbatasan uang bulanan, maka penulis lebih banyak menghabiskan waktu di perpustakaan. Kampus penulis adalah kampus negeri yang bekerja sama dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat dan Kedutaan Besar Canada, sehingga perpustakaan kampus penulis memiliki American Corner dan Canada Centre, penulis merasa menemukan oase, karena resources di sana lebih banyak. Penulis meminjam buku Hillary Clinton, membaca New Yorker, membaca New York Times atau paling banter membaca People Magazine yang berisi gossip artis. Bacaan-bacaan itu turut membentuk pola pikir dan gaya hidup yang penulis jalani hingga detik ini.
Salah satu influence yang membentuk pola pikir dan gaya penulis adalah ketika saya menulis sebuah artikel. Judul maupun gaya penulisan saya mengikuti gaya New Yorker atau New York Times, sebagai contoh, tulisan penulis yang memenangkan kompetisi blog Kompas berjudul “Financing the Next Starbucks” adalah judul yang terinspirasi judul buku “Finding the Next Starbucks” karya Michael T. Moe Pun dengan judul tulisan ini, terinspirasi dari judul buku tersebut dan juga judul film Finding Nemo. Artikel lain seperti “What Should I Do, Apa yang Harus dilakukan Ketika Terkena Covid 19” terinspirasi dari judul buku Hillary Clinton “What Happened”.
Hal lain yang turut membentuk penulis terjadi ketika penulis sudah bekerja dan berkeluarga. Ketika ada waktu luang untuk bisa jalan-jalan. Penulis selalu menyempatkan diri mampir ke toko buku. Tapi bukan sembarang toko buku. Penulis selalu mampir ke toko buku impor yang trendi seperti Periplus, Kinokuniya atau Aksara. Istri penulis kebetulan juga penggemar buku yang sedikit lebih trendi dan artsy. Dia lebih suka membeli buku-buku puisi, sementara penulis lebih suka membaca biografi atau politik ekonomi. Alhasil, kita selalu setuju untuk mampir ke toko buku. Penulis pernah menyampaikan ini ke khalayak, kalau saya mampir ke toko buku trendi, saya seperti merasa menjadi manusia culturized.