Kapitalisme modern menghasilkan dua hal, kesejahteraan dan iri hati kata Morgan Housel. Bagi yang iri hati, akan bekerja keras agar mampu melampaui atau menyamai kekayaan, rekannya satu kandung.
Morgan Housel
Ada suatu kisah dan nasehat yang saya selalu dengar dan perhatikan dari emak, bahwa dulu bibi emak, Bibi Mahbubah adalah orang yang meninggal dengan mewariskan banyak hutang, akhirnya tetangga, kenalan maupun siapapun yang bibi hutangi, datang satu persatu ke rumah dan mengambil harta yang ada di rumah untuk menutupi hutang-hutangnya. Emak mengatakan ‘hartanya jadi rampasan’ karena banyak yang mengambil isi rumah. Kejadian itu dilihat langsung oleh mata kepala emak sendiri, hingga akhirnya Emak bertekad untuk tidak pernah berhutang dan mengajarkan anak dan adik-adiknya untuk tidak berhutang.
Sebagai anak tertua, memang saya tidak pernah melihat emak berhutang, hutang uang, kepada orang lain. Apalagi nasehat yang pernah di lontarkan Kyai Asyari di rumah, jangan memberi makan anak-anakmu dari hutang. Makanya, sejauh ini, sependek yang penulis ingat, emak tidak pernah berhutang uang. Emak memang pernah berhutang, tapi itu hutang dagangan, yang memang pengembaliannya dalam bentuk uang, tapi setidaknya bisa dikembalikan barang dagangannya apabila tidak laku.
Pun ketika anak-anaknya sekolah hingga perguruan tinggi, sedikitpun emak tidak pernah berhutang, ke bank, ke saudara atau yang lainnya. Emak selalu melakukan apa yang disebutnya aksi prihatin, menabung 40ribu sehari untuk saya dan adik saya kuliah. Untuk bisa makan enak, emak ngumpulin kardus-kardus bekas untuk bisa ditukar dengan satu atau dua kilo daging kambing. Jarang makan bakso atau makan enak. Makanya ketika saya lulus atau adik saya lulus, Emak bebas hutang.
Saking kerasnya Emak terhadap perilaku hutang, beliau pernah marah ketika mengetahui bahwa anaknya ini memiliki kartu kredit. “dit dit dit nanti kesendit” (dit dit dit nanti terlilit) kata emak suatu ketika. Tidak hanya itu, emak sangat membenci perilaku konsumtif, emak tidak suka anaknya membeli barang-barang mewah yang tidak ada gunanya, apalagi yang sifatnya pakaian. Baju-baju itu sifatnya ‘gombalan’, terlihat mewah tapi turun harganya begitu keluar dari toko.
Jadi emak tidak habis pikir ketika orang-orang maupun keluarga terdekatnya terlilit hutang, padahal emak sudah mencontohkan dan meriwayatkan bagaimana akhir dari perilaku hutang. Mereka para penghutang itu biasanya selalu tidak pernah cukup dengan kondisi keuangannya. Selalu mementingkan gengsi, berperilaku gali lubang tutup lubang, dan pada akhirnya menyerahkan asset berharganya untuk dilelang atau diserahkan.
Baru-baru ini Emak bercerita kalau salah satu adiknya kembali berhutang dengan nilai yang cukup besar untuk ukuran di kampung. Nilainya tujuh juta pada satu orang, dan itu pasti belum termasuk pada orang lain atau lembaga keuangan lain. Padahal adiknya itu pernah terlilit hutang bank dengan nilai yang cukup fantastis, lebih dari 100 juta. Nilai sefantastis itu hanya dari satu bank, belum termasuk di BMT, belum termasuk di orang-perorang.
Perilaku adiknya itu berawal dari sangat menggampangkan penggunaan uang orang lain untuk kepentingan dirinya terlebih dahulu dengan angan akan menutupnya dengan hasil usahanya. Untuk menutup hutangnya, karena dia tidak memiliki penghasilan tetap, dia berhutang kepada orang-orang untuk menutup hutangnya. Pada puncaknya meminjam uang ke lembaga keuangan dengan nilai fantastis. Dari mana dia menutup hutangnya yang menggunung hasil gali lubang tutup lubang itu, selalu dengan angan akan ada dana yang tidak terkira, hasil dari pencairan asuransi. Alhasil, asset tanahnya ditarik oleh bank. Pada suatu titik adiknya ini sampai tidak punya uang untuk membeli minyak goreng.
Angan untuk mendapatkan easy money itu tertanam kuat di benak para penghutang. Mereka beranggapan bahwa mereka memiliki sumber keuangan lain untuk bisa menutup hutangnya. Sayangnya terkadang para penghutang ini tidak bekerja keras untuk mendapatkan uang untuk membayar hutangnya tapi terus berkelindan untuk bisa mendapatkan dana bukan dari hasil kerja tapi dari orang lain. Ada yang mengharapkan pencairan asuransi unit link, ada juga yang akhirnya bermain gambling. Ada suatu kasus dimana seseorang yang terus menerus dikejar hutang akhirnya bermain binary options dengan harapan mendapatkan return yang besar. Tapi apalah daya malah buntung, laba dari binary options tak kunjung hasil malah rugi.
Saya juga tidak bisa mengeneralisir bahwa penghutang itu memiliki traits yang sama, bisa jadi ada juga penghutang yang memang karena kebutuhan hidup, untuk makan maupun minum, tapia da juga yang memang berhutang untuk mengejar gaya hidup. Ini suatu hal yang sangat disayangkan, buat apa mengejar gaya hidup, buat apa mengejar gengsi. Ada yang rela menggadaikan rumah demi bisa mendapatkan mobil terbaru, ada juga yang berhutang banyak ke bank atau orang lain demi bisa tampil mevvah. Ada yang ikut arisan ini dan arisan itu untuk bisa menjaga nama baik, ada juga yang ikut asuransi demi bisa tampil bahwa dirinya ikut asuransi, ada yang aduh saking banyaknya gengsi yang dikejar sehingga lupa seberapa besar sih penghasilannya.
Maybe Morgan Housel was right, the author of best selling book The Psychology of Money said bahwa capitalism menghasilkan dua hal, kekayaan bagi sebagian orang dan iri hati bagi sebagian yang lain. Envy atau iri hati ini membuat orang-orang yang tidak mamiliki kemampuan menghasilkan kekayaan melakukan apapun untuk bisa terlihat kaya. Berhutang dengan mengambil risiko yang besar adalah salah satunya.