Catatan Harian

Belajar dari Orang Australia

Written by Saomi Rizqiyanto

Beberapa minggu terakhir, ada guest editor untuk Jurnal Ahkam dari Melbourne University, namanya Edgar Myer. Usianya baru 22 tahun tapi dia sudah bekerja overseas dalam artian, bekerja diluar negaranya. Dia pernah menghabiskan beberapa bulan di Flores , doing research and then pernah juga spend few weeks di Jogjakarta. Rencananya dia juga akan menghabiskan few months (kalau tidak salah until November) untuk menjadi guest editor untuk Jurnal Ahkam. Yeay, hati kecil saya berteriak, finally kesempatan untuk bergaul dengan white people kesampaian juga, tanpa menyia-nyiakan waktu saya berkenalan dan menanyakan ini dan itu kepada Edgar. Untung orangnya asyik dan masih muda lagi jadi gak sungkan.

Tapi yah entah kenapa, saya tuh senang sekali lho berhubungan dengan hal-hal yang sifatnya western. Sejak remaja saya memimpikan bisa kuliah ke luar negeri dan bahkan bermimpi bisa tinggal disana. Jadi wajar ya kalo tontonan, bacaan, preferensi sampai attitude pun kebarat-baratan. Ibu saya pernah ngomel karena saya tidak pernah sarapan pagi di kostan dengan nasi, menurutnya tradisi minum kopi, roti, keju dan susu jauh dari tradisi rumah. Tapi saya ngotot, selain sangat western, tradisi ini juga sangat praktis.

Karena sangat terobsesi dengan western itulah, saya berlangganan serial-serial tv united states, menonton drama-drama di ruang televisi mereka. Mencoba mempraktekkan gaya hidup dalam keseharian, seperti penggunaan kata-kata “fucked up” ”damn” “bitches” dsb yang secara tidak sadar kok mengubah perilaku saya. Jangan-jangan sikap saya yang mulai pesimis, desperate, materalistis juga dikarenakan tontonan itu ya.

Lier euy, tapi pertemuan dengan Edgar sedikit mengubah persepsi saya tentang white people. Pertama, white people dikenal rude, tapi Edgar sangat sopan. Saya pernah diumpat oleh seorang bule sewaktu saya di Bali, dia marah karena saya melihat terus ke dia, mungkin karena dia sedang hangover kali ya, tapi Edgar sopan, terlihat dari cara dia bicara dan juga cara dia makan, sangat berkelas cara makannya. Garpu dan sendoknya selalu menengadah kebawah. Dia tidak ragu untuk berbicara menggunakan bahasa Indonesia, gak seperti kebanyakan bule yang sok gak ngomong Bahasa (emang loe tinggal dimana). Dia juga belum pernah menuntut ini itulah, mengeluh lah. Itu yang aku salut dari dia.  Dia friendly dan punya kepribadian yang hangat.

Yang kedua, dia sangat menghargai waktu, artinya, jikalau dia datang jam 9 dia akan pulang jam 5, kalau dia datang jam 10 dia akan pulang jam 6. Terus dia tidak mencerminkan anak muda berkulit putih pada umumnya yang suka minum alcohol, ketika saya dan teman-teman mengajak dia hangout pada hari jumat kemarin, saya sengaja tawari dia minum alcohol tapi dia order coffee… hmm sangat berkelas ya. Terus dia sangat cowok, selera lagu-lagunya tuh, yang liriknya bagus dengan music yang tenang. Khas pria konvensional.

Aku sih berharap pertemuanku dengan Edgar bisa membawa nilai dan syukur-syukur perubahan positif pada diri saya. Mungkin saya harus berusaha mencoba bertindak sopan dengan semua orang. Don’t complaining, just embrace them all. Jadi pendiam dan kalem. Seperti Edgar. Dan mencoba menjadi lebih baik, outgoing person dan semua nilai-nilai konvensional yang sepertinya tidak lekang dimakan jaman. Tetap semangat untuk terus berprestasi, terus bermimpi untuk bisa belajar di luar negeri, dan menekankan pentingnya hubungan internasional. That’s all!

About the author

Saomi Rizqiyanto

Leave a Comment