Juli tahun ini mengutip KOMPAS, Jakarta sedang menjadi kota diplomasi, hal ini karena saking banyaknya agenda pertemuan yang dihelat. Mulai dari ASEAN Ministrial Meeting yang merupakan forum utama pertemuan antar menlu ASEAN dan negara mitra, lalu ada ASEAN Regional Forum yang merupakan forum konsultatif di Asia Pasifik terkait masalah keamanan dan politik. Ada juga East Asia Summit, yang merupakan forum kerjasama terkait energi dan lingkungan. Peserta dan agenda dari tiga kegiatan utama ini serupa namun tak sama. Belum lagi beragam agenda sampingan seperti pertemuan bilateral maupun trilateral antar negara-negara mitra. ASEAN sedang punya hajatan dan Indonesia sedang menjadi tuan rumahnya, tapi apakah serangkaian kegiatan ini penting?
Pertanyaan ini menjadi vital lantaran tidak hanya karena Indonesia sedang menjabat keketuaan ASEAN di tahun 2023, namun juga karena ASEAN kini berada ditengah kondisi geopolitik regional maupun internasional yang pelik. Di kawasan Asia Tenggara sendiri, ASEAN sedang menghadapi situasi politik dan keamanan Myanmar yang tidak menentu, konflik di Myanmar hingga saat ini belum menemukan titik temu walau utusan ASEAN dan utusan PBB sudah berkunjung dan memberikan saran. Kisruh di Myanmar tidak hanya memunculkan rasa frustasi di kalangan pemimpin ASEAN namun juga keterbelahan internal di ASEAN. Terkini, Thailand dan Kamboja memilih melakukan pendekatan sendiri diluar konsensus ASEAN.
Pada tataran global, situasi panas kini sedang terjadi di halaman depan negara-negara ASEAN khususnya di wilayah Laut Natuna Utara dan Laut China Timur. Sengkarut batas wilayah antara ASEAN dan China di Laut Natuna Utara belum menemukan titik temu, China terus menerus mengklaim sembilan garis putus-putus sebagai batas teritorialnya sementara negara-negara ASEAN kompak menolak klaim sepihak yang tidak berdasar pada hukum internasional tersebut. Di Laut China Timur, selain tumpang tindih wilayah, konflik panas yang terjadi antara China dan Taiwan, cukup membuat tensi geopolitik cukup tegang dan mengarah pada Perang Dunia. Pasalnya konflik China dan Taiwan ini mengundang segenap kekuatan besar untuk bermain di palagan ASEAN. Amerika Serikat dengan AUKUS dan Quad-nya mencoba membendung pengaruh China dengan memperkenalkan Kapal Selam Bertenaga Nuklir, sementara China terus-menerus melakukan manuver-manuver militer demi mempertahankan klaim teritorial atas Taiwan. Aksi-aksi ini membuat kawasan terancam menjadi kancah peperangan. Oleh karenanya kembali ke pertanyaan semula, apakah mantra presidensi indonesia di ASEAN kali ini tetap bertuah? Apakah ASEAN penting?
Subscribe to our newsletter!
Dari sudut pandang diplomasi, organisasi regional seperti ASEAN tetap penting dibutuhkan. Joseph Nye dalam teori regionalisme menyebut, setiap negara yang memiliki kesamaan etnis, budaya, agama, wilayah memang membutuhkan organisasi regional karena hanya dengan organisasi regional inilah maka kepentingan politik dan ekonomi masing-masing negara bisa tercapai. Bangsa-bangsa di Asia Tenggara yang merasa memiliki kesamaan nasib ini memproklamirkan berdirinya organisasi regional pada tahun 1967, tujuan utamanya memang untuk saling melakukan kerjasama ekonomi demi meningkatkan taraf kehidupan rakyat di Asia Tenggara. Organisasi regional yang didirikan oleh Adam Malik, Narcisco Ramos, Tun Abdul Razak, Rajaratnam dan Thanat Khoman ini memang tidak tertarik untuk membentuk aliansi keamanan, hanya sekadar mempromosikan perdamaian dan keamanan wilayah. Alhasil, ASEAN memiliki lebih banyak portofolio kerjasama ekonomi dibanding keamanan.
Sementara dari perspektif pragmatis, penulis berpendapat ASEAN sama sekali tidak penting baik dalam pengembangan kapasitas ekonomi anggotanya maupun menjaga perdamaian dan keamanan kedaulatan wilayahnya. Kenapa penulis mengatakan seperti itu, karena pertama secara ekonomi, pertumbuhan ekonomi di wilayah ini yang terlihat stabil dan tumbuh positif sebenarnya bukan karena arus modal dan barang yang terjadi antar anggotanya, melainkan karena ada arus investasi dan pergerakan barang dan jasa dari negara-negara mitra. Tercatat aktifitas ekonomi internal ASEAN semenjak tahun 2016 tidak menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. Total perdagangan barang dan jasa di internal ASEAN hanya sebesar 799 Miliar US Dolar sementara total perdagangan dengan negara mitra nilainya melebihi ekspektasi, yakni sebesar 3287 Miliar US Dolar. Tentu ini sebuah pertanyaan, bahwa ya ASEAN berhasil menarik investasi dan perdagangan dengan negara-negara mitra sehingga mampu meningkatkan taraf hidup rakyatnya, namun perdagangan intra ASEAN sepertinya malah tidak berkembang. Bahkan gaung ASEAN Free Trade Area seperti gagal diimplementasikan. Tidak banyak pergerakan arus barang, jasa, investasi dan orang yang terjadi di antara negara ASEAN.
Sementara dalam hal mempromosikan perdamaian dan keamanan wilayah, ASEAN memang tidak memiliki mekanisme tetap bagaimana untuk menjaga perdamaian dan keamanan stabilitas anggotanya. Sejak awal ASEAN tidak berniat untuk menjadikan organisasi regional ini sebagai organisasi keamanan, ASEAN hanya bisa melakukan imbauan dan rekomendasi terhadap pihak-pihak yang bertikai. Satu-satunya yang dijadikan kebanggaan bagi ASEAN adalah penerapan ASEAN Way, yakni sebuah konduk berperilaku non intervensi antar anggota dengan mengedepankan musyawarah mufakat. Namun ASEAN Way ini terlihat ambigu dan lumpuh ketika masalah keamanan muncul dalam salah satu anggotanya. ASEAN seperti bisu dan gagap ketika menghadapi masalah Myanmar. Ketegasan baru sebatas memunculkan lima konsensus ASEAN tentang Myanmar yang sampai sekarang juga belum memunculkan hasilnya.
The ASEAN Way yang dibangga-banggakan itu juga ternyata juga belum mampu menuntaskan Code of Conduct antara ASEAN dan China yang memiliki teritorial disputes di Laut China Selatan. Padahal CoC ini sudah lama dibahas sejak tahun 2002, namun sudah dua dekade berlalu, Code of Conduct ini belum juga rampung. Tulisan Marc Macdonald di New York Times satu dekade lalu bisa jadi benar, Indecisive and Infighting that is the ASEAN Way.
Akhirnya, penulis melihat serangkaian acara diplomasi yang digelar di Jakarta pada bulan juli ini hanya sekadar acara seremonial. Memang banyak sekali dokumen dan kerjasama yang ditandatangani dan dihasilkan, ada banyak gagasan yang timbul seperti ingin memperluas kerjasama dengan IORA (Indian Ocean Rim Association/Perkumpulan Negara Lingkar Samudera India) dan negara-negara Pasifik (PIF). Namun apabila pertemuan demi pertemuan hanya berakhir dengan dokumen sebagai sebuah pencapaian, maka acara ini ibarat kumpul-kumpul tetangga untuk minum teh di sore hari. Masing-masing bertemu sapa, berfoto bersama, ngobrol ramah tamah, memamerkan isi rumah tanpa ada tindakan nyata sementara di depan gang komplek sedang ada orang sedang mau berkelahi.