Warga Indonesia bisa jadi bangga, tahun 2022 ini, tepatnya November nanti, Indonesia memimpin suatu perhelatan super akbar bernama G20 Summit di Bali. Beberapa Kementerian, Lembaga, Pemerintahan Daerah dan sektor Swasta turut meramaikan presidensi G20 ini, mereka memasang logo presidensi G20 dalam setiap promosi kegiatan yang dilakukan. Namun di balik kegagahan dan ingar bingar G20 ini, ada suatu keprihatinan yang mendalam, passport Indonesia belum menunjukkan kelas sebagai negara kuat. Passport Indonesia termasuk passport yang lemah.
Berdasarkan Henley and Partners Index, passport Indonesia, negara dengan predikat pemimpin de facto ASEAN, the third largest democracy country, the largest Muslim population country, pemimpin Gerakan Asia Afrika, pemimpin Gerakan Non Blok, Anggota dan Presidensi G20, ternyata hanya menempati urutan ke 73 dari 112 negara dengan kemampuan warganya mengakses visa gratis hanya ke 71 negara. Suatu kenyataan pahit bahwa dibalik predikat-predikat besar itu, Indonesia hanyalah negara lemah dalam bidang diplomasi antar negara.
Peringkat Passport Indonesia
Peringkat Passport Indonesia berdasarkan passportindex.org menempati urutan ke 78
Visa Free | Visa On Arrival | Visa Required |
36 | 42 | 120 |
Masih terngiang di benak penulis, tahun 2020 ketika mengajukan visa ke Jerman, pengajuan visa penulis ditolak dengan alasan tujuan kedatangan belum jelas. Suatu kenyataan yang menyakitkan bahwa menjadi warga negara Indonesia berarti anda tidak bebas untuk terbang kemana saja. Warga negara Indonesia harus memohon kepada suatu negara tujuan untuk bisa diberikan visa. Meanwhile, warga negara lain bisa dengan mudahnya masuk ke negara ini tanpa visa. Warga Australia misalnya, dengan passport yang dimilinya mereka tidak perlu mengajukan visa ke Republik ini, atau kalaupun diperlukan mereka bisa mengajukan Visa on Arrival.
Ada beberapa alasan mengapa passport suatu negara dikatakan lemah atau hanya memiliki sedikit akses bebas visa. Pertama karena suatu negara tersebut dilanda konflik baik itu perang saudara maupun perang antar negara. Negara-negara seperti Palestina, Afghanistan, Iraq dan Ukraine adalah sedikit dari negara-negara yang passportnya sangat lemah. Penulis selaku dosen di perguruan tinggi, pernah mendapati banyak negara timur tengah yang menginginkan studi di Indonesia, namun ternyata mereka hanya ingin mendapatkan surat sponsor untuk bisa terbang ke negara tujuan mereka, ie Australia atau Amerika Serikat.
Kedua, karena instabilitas kondisi politik dan ekonomi suatu negara. Negara-negara yang sering mengalami krisis politik terkadang membuat passport suatu negara menjadi lemah. Turki walaupun bagian dari NATO, namun passportnya masih tergolong lemah, begitu juga dengan, Thailand, The Philippines, Pakistan dan lainnya. Pun dengan masalah ekonomi, negara-negara yang memiliki pendapatan kapita yang rendah cenderung memiliki passport yang lemah. China misalnya, dengan kemajuan ekonomi yang dimilikinya, passport China masih masuk kedalam passport yang lemah, begitu juga dengan Indonesia.
Terakhir, karena suatu negara kurang memiliki bilateral agreement dengan banyak negara lainnya. Bisa jadi karena menganut prinsip isolasi atau terkena embargo, sehingga negara-negara tersebut tidak memiliki banyak perjanjian kerjasana bilateral. Negara-negara yang masuk dalam kategori ini seperti Korea Utara, Bhutan maupun Iran.
Dari ketiga alasan tersebut, sebenarnya Indonesia masih memiliki kesempatan untuk menaikkan power dari passport yang dimilikinya. Sebagai negara muslim terbesar dan anggota OKI, Indonesia dengan memanfaatkan diplomat-diplomatnya, sebenarnya bisa menjalin Kerjasama bilateral yang lebih intens dengan negara-negara muslim lainnya sehingga warga negara nya bisa masuk ke nagara-negara muslim tersebut tanpa pengajuan visa, seperti yang dilakukan di ASEAN. Begitu juga dengan keanggotaannya di APEC dan G20, Indonesia seharusnya bisa mendorong Kerjasama lebih erat khususnya dalam hal pertukaran orang melalui akses bebas visa.
Tanpa hal itu, kebanggaan akan presidensi dan keanggotaan di G20 bagi penulis ibarat kebanggaan semu. I don’t see that as vital for Indonesian citizen, lebih penting bagi penulis untuk bisa bepergian kemana-mana tanpa visa dibanding mengadakan perhelatan akbar G20 Summit.