Guru saya, Ust Ruslan Fariadi, anggota majelis tarjih PWM Jogjakarta, pernah mengatakan hidup harus bisa membenturkan idealisme dengan realitas, pendeknya harus bisa berkompromi. Akhir-akhir ini saya menyadari bahwa hasrat untuk bisa sempurna terkadang bisa menyakiti hati seseorang dan itu adalah penanda waktu untuk segera melakukan evaluasi.
Di jagat raya Amerika, tepatnya California, seorang produser, artis dan juga pembawa acara paling laris saat ini, Ellen DeGeneres sedang dirundung masalah. Beberapa staf nya melaporkan bahwa pertunjukan Ellen Show yang menampilkan “kebaikan dan kemurahan hati” adalah kepalsuan, Ellen dilaporkan bersikap culas dan beberapa eksekutif produsernya dikabarkan melakukan tindakan rasis dan sarkatis ke beberapa pegawai.
Setelah berminggu-minggu didera laporan yang merusak citra pertunjukan akhirnya Ellen membuat klarifikasi dan berjanji akan memperbaiki semua tindakan yang dilakukan oleh dirinya dan pegawai senior di kantornya. Walaupun banyak pegawai dan mayoritas pembaca berkomentar bahwa begitulah dunia kerja, apa yang Ellen kerjakan adalah upaya untuk membuat Ellen Show tetap berjalan.
Di negara yang sama namun beda kota, Sillicon Valley, pencipta teknologi paling andal se dunia, mendiang Steve Jobs beberapa kali bertengkar dengan petinggi Apple, bahkan pernah bersitegang dengan sesama pendiri Apple, Steve Wozniak. Steve Jobs berkali-kali mengatakan stafnya bodoh dan tidak mengerti apa yang dunia inginkan. Steve Jobs akhirnya dipecat oleh perusahaannya sendiri walaupun akhirnya kembali lagi dengan produk-produk Apple yang legendaris, iPod, iPhone dan iPad.
Apa yang bisa saya pelajari dari dua cerita di atas? Somehow, some people melakukan kompromi untuk bisa berjalan sesuai dengan nilai etika yang ada, sementara ada juga orang yang terus memperjuangkan ambisinya sekali lagi demi sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam lingkungannya. Ellen is not wrong dengan melakukan permintaan maaf dan akan melakukan serangkaian perbaikan karena nilai dan etika liberal Hollywood tidak menerima tindakan rasis dan toxic, sementara Steve Jobs juga benar karena dalam dunia teknologi, yang terbaik dan paling andal yang bisa bertahan seiring kompetisi teknologi yang super ketat.
Kenapa saya menulis ini? Beberapa hari yang lalu seorang teman memberi tahu bahwa beberapa kolega merasa tidak nyaman dengan gaya bicara saya saat menguji skripsi yang cenderung nge gas sehingga dipersepsikan merendahkan. Walaupun dalam benak saya, tidak ada niatan untuk merendahkan dan sejatinya apa yang saya lakukan murni untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan mulai dari yang remeh sampai dengan yang fatal. Namun ternyata tindakan saya dipersepsikan negatif.
Saya hidup di tengah-tengah nilai di mana mediokritas atau nilai menengah harus dipertahankan, mengikuti peribahasa, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung, saya secara pribadi menyesal dan akan mengikuti kebiasaan yang sudah berjalan.
Sebelum tidur, istri saya memberi tahu bahwa its not how good you are, its about how good you want to be. Bukan masalah hasrat dan keinginannya yang salah, tapi mungkin cara penyampaian nya yang cenderung kurang sopan apalagi di komunitas konservatif dan tertutup. Jadi better if I go low and let go the high bar standard. []