Dunia menyaksikan secara seksama ketika Pope Francis dan Grand Mufti Rahmi Yaran menundukkan kepala bersama, Pope dengan mengepalkan kedua telapak tangan dan Grand Mufti dengan menengadahkan kedua tangan, menghadap ke kota suci Mekkah, memanjatkan doa perdamaian bagi kawasan timur tengah. Bagi setiap orang, baik yang menyaksikan secara langsung maupun membaca di harian harian terkemuka dan laman-laman internet, dan bagi yang berpikiran sehat, akan mengamini doa kedua pimpinan agama di dunia ini. Setidaknya seperti yang diungkapkan oleh Grand Mufti, ‘May Allah Accept It”.
As a muslim, yang berpikiran terbuka dan moderat, menyaksikan Sri Paus Fransiskus dan Mufti Besar Rahmi Yaran berdoa bersama di Masjid Sultan Ahmet, dengan menghadapkan wajah ke Kakbah pada tanggal 28 November 2014 di Istanbul itu adalah suatu peristiwa bersejarah, berharga dan memberikan pelajaran bagi kedua umat beragama ini, Christianity dan Islam. Kedua umat di akar rumput setidaknya dipaparkan untuk mengikuti pimpinan mereka akan pentingnya saling memahami dan sama-sama berbuat untuk perdamaian.
Dua aksi tersebut dinilai penting saat dunia seakan terseret pada sebuah ironi global, pencapaian kemakmuran yang belum pernah ada dalam sejarah namun juga diiringi sebuah potret kemiskinan yang belum pernah terbayangkan. Ironi yang diyakini menyeret manusia pada aksi terror dan extremism yang berujung pada peperangan. Dengan lugas, Pope Francis yang tahun lalu di anugerahi Person Of The Year versi majalah TIME, menyinggung perilaku para pelaku pasar modal di wall street yang membiarkan gelandangan dan para tuna wisma meninggal dunia kelaparan dan lebih mementingkan poin poin di papan bursa saham.
Dengan pesan yang sangat jelas, Paus memotret peperangan yang terjadi di Syria dan Iraq (Islamic State), di Afrika (Bako Haram) tanpa melupakan konflik di Israel dan Palestine, adalah akibat dari pembiaran kemiskinan yang terus terjadi sehingga masyarakat memilih menggunakan jalur kekerasan dibanding jalur diplomasi. Pesan yang tersirat juga tampak dalam kunjungan kepausan kali ini, bahwa ada banyak kaum kristiani yang harus dilindungi oleh pemimpin pemimpin muslim di timur tengah, khususnya pada konflik Islamic State.
Washington Post, sebuah koran beraliran konservatif, mencatat setidaknya ada dua hal selain tujuan utama diatas dalam kunjungan Paus kali ini di Turki. Sebagaimana diketahui, tercatat pendahulu Paus Fransiskus, yakni Paus Emeritus Benedictus, pernah menyambangi negeri muslim yang sekuler di negeri penghujung asia dan eropa ini, pada tahun 2006 sebelum pengunduran dirinya dengan misi yang sama, menguatkan rasa saling percaya antar dua umat beragama setelah pidatonya yang menggemparkan umat islam pada medio 2005 di Jerman.
Pertama adalah menguatkan hubungan antar pemeluk Christianity. Dilaporkan dalam kunjungan kali ini, Paus Fransiskus ditemani oleh Patriach Bartholomew I, pimpinan gereja orthodox yang merupakan pecahan roman catholic pada abad pertengahan. Roman catholic adalah aliran kepercayaan Christianity yang berkedudukan pusat di Roma dengan pemegang kekuasaan tertinggi berada di tangan seorang Paus, sementara Gereja Orthodox adalah aliran Kristen yang berkedudukan pusat di Konstantinopel (Istanbul) dengan pemegang kekuasaan tertinggi di tangan Patriach. Roman Catholic dan Orthodox adalah dua gereja tertua sebelum perpecahan pertama di millennium pertama (seribu tahun pertama). Pada tahun 1054, Gereja Katolik Roma mengekskomuni gereja Konstantinopel dan tidak membantu imperium ini ketika mendapat serangan dari Ottoman. Kunjungan ini adalah untuk mengeratkan hubungan antara Katolik Roma dengan Ortodoks Timur.
Kedua, adalah meningkatkan toleransi dengan membangun kesalingpahaman antar agama (interfaith), selain menguatkan hubungan dengan ecumenical, Pope Francis juga menguatkan hubungan dengan komunitas muslim. Hubungan dengan kaum muslim sejatinya adalah yang paling urgen karena gesekan dua umat beragama di akar rumput senantiasa terpantik oleh konflik. We did not mention in the middle east dan afrika, tapi lebih lebih jauh juga ke Asia Tenggara khususnya Malaysia dan Indonesia.
Semoga saja aksi doa bersama dengan tiga misi mulia ini akan mampu menajamkan kembali setiap umat beragama bahwa walaupun kita memiliki iman yang berbeda, tapi kita tetaplah seorang manusia, seorang hamba tuhan yang sejatinya harus bersama-sama membangun peradaban dunia ini dengan nilai-nilai moral yang baik, sembari terus mengikis fundamentalisme dan ekstrimisme yang menjadi momok bagi setiap agama di manapun juga.