Culture & Education

Covid19, Latah dan Gagap Penyakit Perguruan Tinggi

Written by saumiere

Saya selalu mengatakan di depan kelas bahwa ‘silakan gunakan ponsel untuk mencari definisi, mencari fakta, menghitung, menterjemahkan, jangan gunakan hp saat di kelas untuk live instagram’ yang langsung direspon oleh mahasiswa dengan meletakkan hp nya masing-masing di meja. Saya tidak menyalahkan mereka, justru saya bertanya-tanya, apakah metode saya mengajar di kelas membosankan sehingga mereka mengalihkan perhatian ke whatsapp, atau apakah mereka benar-benar kehilangan minat untuk belajar karena semua informasi sudah mereka peroleh di kelas.

As we live in the age of internet, Don Tapscott said akan ada saatnya dimana Internet dan Mobile Device menggantikan semuanya, mulai dari buku resep hingga universitas akan digantikan oleh Internet. But the problem is, apakah Internet mengubah perilaku kita, mengabaikan manners dan cara berinteraksi kita sebagai manusia. Saya pikir secanggih apapun suatu teknologi, tetap tidak bisa mengubah keajaiban sesungguhnya, yakni manusia itu sendiri. Mesin tidak bisa menggantikan sensitifitas manusia.

Recently, saya baru saja bertanya kepada salah seorang professor asal Amerika yang memberikan kajiannya tentang tren terkini pembelajaran di abad internet. Menurutnya apa yang disebut sebagai pembelajaran online tetap membutuhkan guidance, tetap membutuhkan controlled activities sehingga pembelajaran tetap berlangsung dengan optimal. Saya lupa menanyakan apakah perkuliahan online seperti yang diselenggarakan oleh beberapa kampus seperti Universitas Phoenix di Amerika Serikat bisa efektif. I curiously wonder, apakah perkuliahan online atau pembelajaran online bakal menggantikan pembelajaran kelas.

As many experts said before, digitalisasi pada saat sekarang ini mengarah pada era apa yang disebut Rhenald Kasali sebagai Disrupsi. Banyak industri yang kalang kabut dengan adanya perkembangan teknologi yang luar biasa. Contoh yang real, usaha transportasi BlueBird rontok dihantam Gojek, bisnis retail, terhuyung-huyung diserbu toko online, industri marketing, banting setir meninggalkan cetak dan beralih ke online. Menurut para ahli, tidak memungkinkan nanti sektor pendidikan dan kesehatan akan terkena imbas dari teknologi informasi ini. Sekarang saja orang sudah bisa bertanya tentang penyakit melalui aplikasi, banyak yang menyelenggarakan kursus online. Pertanyaannya, apakah guru, dosen, dokter akan juga tergantikan oleh mesin.

Sistem Pendidikan Latah

Anehnya agenda disrupsi yang ditandai teknologi 4.0 ini tidak lantas ditanggapi dengan tangkas, pertanyaan yang penulis ajukan di atas tidak malah membuat para pendidik dan akademisi di Indonesia membuat satu narasi besar bagaimana menyikapi perkembangan teknologi ini. Reaksinya malah konyol, beberapa seminar dan konferensi di perguruan tinggi merayakannya dengan tema-tema serupa, seperti misalnya pendidikan di era 4.0, ekonomi di era 4.0, agama di era 4.0 bahkan hal-hal yang berbau hukum agama yang kawin dengan kepentingan ekonomi, seperti perbankan syariah juga ditarik-tarik, perbankan syariah di era 4.0, yang jikalau ditilik lagi, materi dan paper nya sangat jauh dari apa itu pengertian 4.0, hanya tambal sulam materi lama dikawinkan dengan teknologi. Bahkan yang lebih menggelikan adalah teknologi yang selalu dibawa adalah media sosial. Alamak, selamat datang di dunia pendidikan Indonesia yang serba latah.

Belum percaya dengan latahnya perguruan tinggi di Indonesia, coba tengok penamaan konferensi internasionalnya, hampir bisa dipastikan mayoritas menggunakan istilah international conference, pertanyaannya apakah seminar international harus memiliki nomenklatur international conference? Setahu saya persyaratan seminar international adalah harus mendatangkan setidaknya 3 (tiga) pembicara asing, kalau nama sependek ingatan saya belum diharuskan. Sehingga tiap akhir tahun perguruan tinggi pasti menyelenggarakan International Conference dengan awal IC itu pasti. Padahal bisa saja lho ASEAN atau Asia Pacific atau OCEANIA juga bisa dijadikan acuan penamaan. Entah kenapa sepertinya terlalu baku. Alias latah.

Sehingga penulis bisa pastikan sejatinya ramainya perbincangan 4.0 di tataran perguruan tinggi sebenarnya belum mampu menjawab kebutuhan dari perkembangan 4.0 itu sendiri. Karena yang diperbicangkan sebenarnya hanyalah latah, mengikuti tren, seakan-akan perguruan tingginya mengikuti tren yang serupa, namun hasilnya zero, hanya tumpukan-tumpukan paper nihil solusi.

Sistem Pendidikan Gagap

Karena yang dikedepankan adalah sikap latah dalam menghadapi disrupsi teknologi informasi, maka akan sangat terlihat ketika terjadi benturan keras seperti yang sekarang kita hadapi, Coronavirus Disease 19. Sikap yang tadinya hanya latah, ikut-ikutan tanpa memahami makna apa itu 4.0 dan bagaimana menghadirkan solusi 4.0, berbalik menjadi gagap bagaimana melakukan pendidikan di tengah Covid19. Lho kemana hasil seminar 4.0 beberapa tahun belakangan ini. Ada kampus yang sama sekali bingung apabila perkuliahan ditiadakan bagaimana KBM tetap berjalan? Ada kampus yang memang memiliki resources yang baik sehingga tidak bingung menyelenggarakan Pendidikan Jarak Jauh.

Justru yang parah, dan ini kebanyakan adalah kampus-kampus yang memang selama ini hanya latah saja, ikut-ikutan menggemakan era 4.0 namun tidak memahami makna 4.0 itu sendiri. Sikap yang muncul kemudian adalah gagap dan debat luar biasa. Gagap mulai bagaimana cara menyelenggarakan Pendidikan Jarak Jauh, gagap menggunakan sistem aplikasi apa yang tepat, apakah harus sinkron tatap muka atau penugasan sudah cukup, mulai muncul pula keberatan dari sisi beban tugas si mahasiswa dan beban ekonomi kuota internet yang menggunung.

Beginilah pendidikan perguruan tinggi yang hanya latah namun minus penghayatan. Hasilnya hanyalah sikap gagap. Lalu kembali ke pertanyaan di atas, apakah pendidikan jarak jauh, pendidikan berbasis teknologi informasi bakalan mampu menggantikan peran dosen dan guru, dengan banyaknya gagap teknologi di antara para dosen, saya berpendapat, Teknologi Informasi belum bisa menggantikan peran pendidik.

About the author

saumiere

Leave a Comment