Makanan terkadang menjadi simbol perlawanan untuk menentang kebijakan politik yang represif. Masih terbayang ketika warga Boston, Massachusetts, membuang sekian ribu ton karung teh ke laut sebagai aksi balasan atas pemaksaan kerajaan Inggris yang menaikkan pajak teh dan gula. Warga Vienna membuat roti Croissant sebagai aksi balas dendam atas pengepungan Ottoman serta warga Perancis yang membuat kentang goreng French Fries sebagai makanan di hari kebebasan warga perancis atas kekejaman Louis adalah sederetan contoh bahwa makanan terkadang menjadi simbol perlawanan.
Tahun 2016 ini dunia menyaksikan fenomena yang serupa, makanan ‘halal’ kini sedang digemari di Amerika, apa alasannya? Makanan halal menemukan momentumnya karena Trump, dengan retorikanya yang bombastis, menyakiti warga Muslim Amerika. Hal ini menjadi trigger yang membuat demands atas halal food naik. Nilainya tidak main-main, seperti yang dilaporkan Bloomberg, Shaheed Amanullah mencatat pada tahun 1998 hanya ada 200 restoran yang menyajikan makanan halal di seluruh Amerika, namun kini jumlah itu naik menjadi 7600 outlet. Besaran kapitalisasinya mencapai 1.9 billion US Dolar, naik 15 % dari tahun 2012 (Green & Giamona, 2016). Tentu ini adalah pencapaian yang tidak bisa dibilang biasa.
Demand akan makanan halal tidak hanya berhenti pada restaurant dan outlets semata, bahkan menjalar hingga retail retail besar seperti Whole Foods, Kroger, Safeway dan Giant Food Store. Adalah Adnan Durrani, sales manager Saffron Road yang merupakan salah satu supplier untuk makanan halal di retail mengatakan, sepanjang ramadhan tahun ini, permintaan akan halal foods meningkat tajam. Ia mencatat pertumbuhan angka penjualan produknya di retail-retail tersebut mencapai dua digit. Bahkan Dewan Nutrisi dan Makanan Halal Amerika memproyeksikan pertumbuhan makanan halal di Amerika Utara bisa mencapai 20 billion di akhir tahun ini (Green & Giamona, 2016). Permintaan akan makanan halal bisa dikatakan meningkat tajam.
Kotak Pandora Industri Halal
Makanan halal ibarat pembuka tabir kotak pandora industri halal yang semula tidak pernah dilihat sebagai potensi ekonomi. Industri makanan halal ibarat puncak gunung es iceberg yang belum menggambarkan potensi industri halal seutuhnya. Padahal sejatinya, potensi ekonomi dari industri halal terbentang luas mulai dari food, travel, medicine, fashion dan finance, belum lagi jika dihitung dari jumlah potensial konsumen mulai dari Morocco hingga Malaysia, potensinya jikalau digabung bisa menyamai nilai ekonomi amerika utara dan eropa barat. Thomson Reuters melaporkan dengan jumlah populasi muslim sebesar 1.7 billion ditambah dengan GDP masing-masing Negara muslim sebesar 7 trillion USD maka bisa dipastikan proyeksi nilai ekonomi industry halal mulai dari makanan hingga perbankan mencapai 5.2 triliun USD dihitung dari jumlah asset dan expenditure (Shaima, 2016). Angka fantastis ini merupakan gambaran riil dari potensi ekonomi industri halal.
Mari kita bedah satu persatu nilai strategis dari industry halal selain sector makanan. Salah satu sector ekonomi yang juga menggambarkan potensi industri halal adalah bidang fashion. Ramadhan tahun ini dilaporkan beberapa rumah mode papan atas seperti Dolce and Gabbana (D&G) dan Donna Karan New York (DKNY) dilaporkan mengeluarkan koleksi mewah abaya untuk para wanita muslim, tak hanya itu took-toko ritel seperti H&M, Uniqlo dan Net A Porter juga menyediakan koleksi busana muslim di outlet-outlet mereka di seluruh dunia. Hal ini menurut Alberto Mucci penulis “inside the booming muslim fashion industry” menggambarkan adanya pergeseran mendasar akan permintaan fashion muslim yang mulai merangkak naik (Rizqiyanto, 2016). Bahkan tahun ini saja, dalam pagelaran New York Fashion Week, salah satu desainer papan atas Indonesia, Anniesa Hasibuan berhasil mendapatkan standing applause untuk koleksi busana muslimnya yang memukau audience. Tahun ini juga majalah Vogue meluncurkan edisi pertamanya berbahasa arab untuk pasar timur tengah. (Whitney, 2016)
Bagaimana dengan industri wisata? Perkembangan industry wisata juga tidak kalah dengan fashion dan fnb (food and beverage), tahun 2015 yang lalu menjadi titik awal dari perkembangan wisata halal. Dimulai dari pagelaran World Halal Travel Summit di Dubai tahun lalu, kesadaran wisata halal juga mulai menunjukkan denyut nadi yang menggembirakan. Setidaknya, mulai dari Marrakesh di Morocco, Istanbul di Turkey hingga Lombok di Indonesia adalah destinasi-destinasi menarik bagi wisatawan dunia. Indonesia tahun ini menyabet 4 penghargaan sebagai destinasi terbaik untuk halal travel walau bukan pemain utama dari industry ini . Laporan Thomson Reuters menyebut, potensi dibalik halal travel ini sebesar 182 Billion USD, hitungan ini termasuk didalamnya wisata religi umrah plus yang menawarkan wisata lain seperti ke Andalucía, Spain dan Istanbul, Turkey (Shaima, 2016).
Pilihan Konsumen Sebagai Pintu Jalan
Euforia bagi penulis adalah hal yang buruk bagi pertumbuhan sector industry karena terkadang hanya sebatas luapan semata namun lupa untuk menjaga dan terus merawat pertumbuhanya. Melihat sedemikian besarnya potensi industri halal, tidak lantas kemudian kita hanya berhenti pada potensi yang menggiurkan tersebut. Harus ada gerakan untuk mampu menjaga momentum tersebut, dan harus melibatkan semua pihak bagi dari segi regulator, produsen dan konsumen.
Tulisan ini berupaya focus pada sisi konsumen yang terkadang luput dari perhatian kajian akademis maupun pilihan politis. Kenapa konsumen menjadi pilihan, karena pertama, pilihan-pilihan konsumen terkadang menjadi upaya mudah karena berbiaya murah dan memiliki efek yang sangat besar. Sebagai contoh, ketika rakyat India frustasi bagaimana menyingkirkan penjajahan Inggris atas tanah mereka, tampil Mahatma Gandhi yang menyerukan ajaran Ahimsa, salah satu pokok ajarannya adalah tidak mengenakan pakaian buatan Inggris, tidak mengkonsumsi makanan dan minuman buatan Inggris, metode ini paling berhasil dan menggentarkan kekuasaan penjajah hingga akhirnya Inggris menyerah pada pilihan konsumsi yang diserukan oleh Gandhi.
Kedua, tanpa upaya pilihan konsumen terkadang momentum tidak bisa dijaga dan akhirnya stagnan. Perkembangan sector finansial berbasiskan syariah yang booming pada tahun 2005 s.d 2010 menunjukkan euphoria yang menggembirakan, tercatat Bank Umum Syariah (BUS) pada tahun 2005 jumlahnya naik dari 3 unit BUS menjadi 11 pada akhir tahun 2010. Nilai aset perbankan syariah juga mengalami kenaikan dari 20 triliun pada tahun 2005 menjadi 127 triliun pada tahun 2010 (Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, 2011). Namun kondisi ini stagnan begitu tahun berganti, bandingkan angka-angka tadi dengan angka-angka yang didapat dari tahun 2010 s.d 2015. Hanya ada penambahan dua Bank Umum Syariah dalam rentang lima tahun dan kemudian asset yang berkembang juga hanya tumbuh sebanyak 145 triliun menjadi 272 triliun (Otoritas Jasa Keuangan, 2016). Kenapa hal itu bisa terjadi ternyata karena memang perilaku keagamaan tidak berbanding lurus dengan pilihan finansial. Penelitian Is Eka Herawati menunjukkan bahwa atribut perbankan syariah hanya dijadikan pilihan ketiga setelah atribut kredibilitas dan lokasi. Konsumen belum memilih nilai syariah sebagai pilihan utama menjadi faktor dominan yang menjadikan pertumbuhan keuangan syariah stagnan (Herawati, 2008).
Pilihan konsumen haruslah dijadikan pengarusutamaan dalam menjaga momentum pertumbuhan industri halal. Tanpa pilihan konsumen akan label halal atau syariah, maka industry ini tidak bisa tumbuh maksimal. Ingat akan teori dasar dari ilmu ekonomi, pertumbuhan akan terus terjaga manakala titik keseimbangan antara permintaan dan penawaran bertemu. Tatkala permintaan akan produk halal terus tinggi maka penulis berpendapat, industry halal akan terus tumbuh dan menjadi komoditas utama di pasar global. Dengan jumlah pemeluk agama islam sebanyak 1.7 miliar di seluruh dunia maka ceruk ini akan tetap stabil, jika pilihan konsumen muslim tetap memilih label halal sebagai pilihannya. []