Politics & World Affair

Amerika Menuju Krisis Rasisme dan Agama

Written by saumiere

Ada yang berbeda dalam masyarakat amerika, terutama institusi media, dalam memandang sebuah konflik di negaranya. Media Amerika terkesan buru-buru melabeli seorang pelaku kejahatan sebagai teroris apabila ia adalah seorang muslim yang mengkaji jihad dan anti amerika, sementara di sisi lain, media enggan melabeli orang kulit putih sebagai teroris dan cenderung mencari alibi pelaku biasanya dikarenakan lingkungan sosial, tingkat pendidikan dan atau kondisi kejiwaan.

Masih segar di ingatan publik ketika terjadi Boston Marathon Bombing pada medio 2013 lalu. Pelakunya adalah Tamerlan Tzarnaev dan Dzokhar Tzarnaev, dua bersaudara asal Kirgizstan-yang beroleh status kewarganegaraan Amerika. Tamerlan tewas dalam baku tembak dengan polisi di tempat kejadian, sementara Dzokhar yang merupakan mahasiswa University of Massachusets Dartmouth sempat melarikan diri namun tertangkap pada tanggal 19 April 2013. Dalam sebuah hasil investigasi yang dirilis oleh FBI bahwa dia terinspirasi oleh para pejuang Syria dan sangat menyukai ceramah-ceramah Anwar AlMaliki. Tak pelak, hasil investigasi ini memunculkan sebuah kesimpulan yang baku, Dzokhar Tzarnaev adalah seorang muslim yang mempelajari islam radikal dan merupakan pelaku terror Boston Marathon.

Rolling Stones majalah populer di Amerika sempat menayangkan cover majalah yang kontroversial berjudul “The Bomber: How a Popular, Promising Student Was Failed by His Family, Fell into Radical Islam and Became a Monster.” Dengan foto Tzarnaev di halaman depan. Siapapun yang membaca majalah ini secara utuh akan mendapatkan kesimpulan yang linear dengan hasil investigasi FBI. Bahwa Tzarnaev yang dikenakan death penalty, adalah seorang muslim yang belajar Islam radikal dengan kata lain, dia adalah teroris.

Jangkauan media sangatlah berbeda dengan misalnya penembakan di Chapel Hill pada Februari lalu. Saat seorang atheist bernama Craig Hicks menembak mati tiga orang muslim bernama Deah Barakat, Yusor Abu Sahla dan Razan Abu Sahla pada 10 Februari 2015. Ketiganya yang merupakan keluarga baru karena pernikahan Deah Barakat dengan Yusor Abu Sahla adalah pemuda pemudi Muslim Amerika yang dalam bahasa The New Yorker sebagai promising neighborhood karena ketiganya berpendidikan tinggi, mengerjakan kegiatan sosial dan dalam perspektif muslim adalah orang shaleh karena mengerjakan shalat lima waktu. Penembakan Chapel Hill ini oleh media Amerika disebut sebagai Hate Crime, criminal akibat kebencian terhadap suatu kaum.

Majalah The New Yorker dalam edisi terbaru Juni ini menurunkan reportase mendalam tentang kisah Hate Crime ini. Dalam laporannya, terjadi perdebatan antara hasil investigasi polisi yang mengemukakan bahwa Craig Hicks menembak tiga orang ini karena mereka selalu mengambil lahan parkir yang dimiliki oleh Craig Hicks, sementara menurut keluarga Abu Sahla dan Barakat yang diwakili oleh Dr Suzanne Barakat, bahwa penembakan ini murni karena kebencian Craig terhadap orang muslim. Bukti kuatnya adalah banyak juga yang memarkirkan kendaraan melebihi lahan tapi kenapa yang selalu dihujat oleh Craig adalah Barakat dan Abu Sahla. Dalam akun facebook Craig memang ditemukan beragam status dan foto yang memperlihatkan kebencian Craig terhadap Kristen dan Islam.

Dua peristiwa ini entah kenapa memperlihatkan kepada public bahwa ada yang berbeda dalam perlakuan masyarakat amerika, baik dalam institusi hukum maupun media, terhadap para pelaku criminal. Sepanjang ingatan penulis, pelaku-pelaku bom maupun penembakan yang dilakukan oleh seorang muslim baik di Inggris, Amerika, Perancis dan Israel, selalu dikaitkan dengan aktifitas terror, dan masyarakat dunia seakan sudah biasa dengan ihwal ini. Sementara tatkala pelaku criminal adalah seorang kulit putih, beragama non muslim, selalu ada celah untuk alasan lain, biasanya berkaitan dengan Hate Speech ataupun Hate crime.

Pandangan ini mengemuka kembali tatkala pada kamis, 18 Juni lalu, saat seorang pemuda berusia 21 tahun bernama Dylan Roof yang dropped sekolah menengah menembak sembilan jemaat gereja yang semuanya adalah Kristen Afrika Amerika. Pemuda kulit putih ini menembak jemaat dengan mengatakan “orang-orang kulit hitam memperkosa wanita wanita kulit putih, dan merebut negeri ini dari tangan kami”. Penembakan ini jelas membuat warga amerika terperangah. Lebih lebih lagi tatkala media menyebutnya sebagai hate crime, padahal jelas-jelas ini adalah aksi terror dan kejahatan rasis.

About the author

saumiere

1 Comment

Leave a Comment