Jauh-jauh hari sebelum kerusuhan demonstrasi taksi Blue Bird di Jakarta terjadi, majalah TIME sudah menganugrahkan Travis Kalanick runner up Person of The Year tahun 2015. Kalanick bertengger di posisi ke enam, kalah populer oleh Kanselir Jerman, Angela Merkel, kalah telak oleh Abu Bakar AlBaghdadi, sang teroris ISIS, kurang populer oleh Donald Trump dan Hassan Rouhani, Kalanick hanya unggul tipis dari Caitlyn Jenner, sang Transgender. Alasan apa yang membuat TIME memberi ruang Kalanick sebagai orang tahun ini, Rana Forohar punya alasan pastinya, penemuan teknologi UBER bukan sebuah penemuan teknologi biasa layaknya aplikasi yang lain, tapi UBER merupakan kisah sukses sosial yang merebut jutaan hati para mitra dan pelanggannya.
Alasan yang serupa juga yang membuat, Kalanick, pria 39 tahun mantan mahasiswa dropped out dari UCLA, menjadi biang keladi dari kerusuhan demo taksi di Jakarta. Aplikasi yang dibuatnya, UBER, secara pasti, menohok urat nadi kemapanan usaha taksi blue bird. Bagaimana tidak, saat driver Blue Bird maupun taksi konvensional lain harus mematuhi aturan-aturan yang baku di perusahaan, aturan itu tidak berlaku bagi driver UBER, nilai lebihnya bayarannya lebih besar. Harapan orang untuk menjadi boss bagi dirinya sendiri, tidak terikat oleh jam kerja dan bejibun peraturan lain, terwujud di UBER, thats why, UBER yang tadinya hanya mengoperasikan 2 mobil saja di San Fransisco menjadi berlipat, ada sekitar tiga juta mobil di 66 negara hanya dalam waktu lima tahun. Ini sebuah revolusi transportasi. Bahkan mungkin Marc Zuckerberg dan Eric Schmidt terbelalak dengan angka-angka ini.
UBER adalah cerita sukses sosial, bukan semata kisah sukses teknologi. Salah satu mahasiswa penulis di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bercerita di kelasnya bahwa apa yang ia alami sebagai driver UBER memang membuat segala sesuatu bagi dirinya mungkin. Sebut saja Z, mahasiswa semester 4 ini berlatar belakang dari keluarga miskin di Sukabumi, kebetulan dia memiliki skill mengemudi. Kemampuan itu ia kalibrasi dengan menjadi driver UBER. Hanya dengan bermodalkan skill mengemudi, SIM A dan sewa mobil, hasilnya, perbulannya pemuda ini membawa penghasilan bersih maksimal 8 juta rupiah, 12 juta jikalau dihitung biaya rental, bagi hasil, perawatan dan bahan bakar. Dari hasilnya itu, ia bisa menyewa kontrakan yang layak di Jakarta, membayar biaya kuliah, dan sebentar lagi dia akan mengambil mobil pribadi. Sebagai tenaga pengajar saja saya dibuat terbalalak, apa saya menjadi pengemudi UBER saja?
Tentu kisah-kisah sukses ini yang tidak dimiliki oleh pengemudi Taxi Blue Bird. Sebagai perbandingan driver perusahaan milik Noni Purnomo ini tidak memiliki hak untuk memiliki mobil, mungkin berbeda dengan taksi Express yang membolehkan driver memiliki kendaraan dengan skema kredit. Belum lagi peraturan setoran yang besar (penulis tidak menuliskan angka, karena masih kisaran), harus menggunakan seragam, jam kerja shift dan lain sebagainya. Driver Blue Bird layaknya pekerja dalam alam kapitalisme, disewa murah untuk mengkapitalisasi pemilik modal. Sekali lagi driver hanya karyawan yang membuat kaya pemilik industry. Hal ini berbeda dengan driver UBER, dia menjadi mitra UBER, menjadi semi entrepreneur, menjadi boss bagi dirinya sendiri, kapanpun dia kerja silakan, nilai tambahnya mendapat penghasilan besar, walaupun tidak mendapatkan asuransi kesehatan dan benefit lainnya. As a person who can drive and also want a sidejob, which would you choose? Uber or BlueBird. (think logically).
—
Tidak ada yang menghiraukan Travis Kalanick tatkala ia berbicara di depan investor pada pertemuan bisnis di Boston. Ketika ia membicarakan bahwa ia ingin mengubah tata cara bertransportasi di sebuah kota, banyak dari para hadirin yang terkekeh dengan idenya. Gagasannya simple, ia ingin moda transportasi yang andal dan ada dimana-mana, layaknya sebuah air yang mampu mengalir kemana saja. Namun ide Travis yang sudah dua kali berbisnis gagal ini, pertama ia mendirikan Scour dan Swoosh, tampaknya diabaikan begitu saja. If you want to change the way we use our car, let ask Michael Bloomberg (former New York City Mayor)? Tegas salah satu peserta sambil terkikik, menertawakan ide Travis. Namun Travis yang pernah di tuntut hingga 250 miliar US Dolar dan dinyatakan bankrupt ini, memang memiliki jiwa enterprenur sejati. Ia teguh dengan pendiriannya. Terus berupaya menjadikan UBER, menjadi kenyataan. Eric Schmidt CEO Alphabet (GOOGLE) memiliki persepsi yang sama “He is the definition of a serial entrepreneur in its purest form, with all the strengths and weaknesses that comes with. He’s a fighter. He is against institutional structures. He has to get up every day and make something.”
Saat ini mungkin para pebisnis yang dulu mentertawakannya bakal terbelalak. Uber kini merupakan StartUp dengan nilai perusahaan lebih dari 62 Miliar US Dolar, nilai ini hampir mendekati kapitalisasi Volkswagon. Memiliki 1.1 Juta driver di 361 kota di dunia, kata Uber sendiri menjadi “verbs” resmi di google, bahkan dalam banyak kota terjadi leverage produk dari Uber. Layaknya GoJek di Indonesia, Uber bisa digunakan untuk memesan Helicopter di Paris, di kota San Fransisco, Uber bisa dilakukan untuk memesan makanan (UBEREats). Dengan nilai kapitalisasi berikut keunikan dan daya pikatnya saat ini, siapa yang bakal mentertawakannya.
Secara pribadi, penulis sangat setuju dengan adanya UBER ini. Alasannya pertama, Uber menawarkan kebebasan ala kelas menengah yang tidak mau terikat aturan-aturan. Saya tidak harus menelpon customer servis layanan taksi untuk ke Bandara, saya cukup memesan melalui aplikasi UBER, saya bisa memantau dimana lokasi mobil yang terdekat, jenis mobil apa saja yang saya mau, saya tidak harus membayar uang masuk tol, pembayarannya bisa dilakukan kapan saja sesuai tagihan kartu kredit saya. Kedua, harga sewanya jauh lebih murah dibanding taksi konvensional. Saat mungkin Blue Bird mengontrol harga pasaran, misalkan buka pintu 7500, dan kemudian memaksa Express melakukan hal serupa melalui peraturan Pemda DKI, di UBER itu tidak berlaku, hanya 3000 rupiah. As a consumer, which would you choose? (think logically). Alasan ketiga lebih kepada preferensi pribadi, penulis bisa memilih mobil Honda Mobilio atau Mitsubishi Outlander ketika datang ke resepsi pejabat.
—
Joseph Schumpeter punya teori yang bisa menjadi rujukan untuk kasus ini, yakni creative destruction, pola-pola industry yang lama akan tergantikan oleh model-model industry yang baru. Kasus UBER adalah sekian dari banyak kasus penghancuran secara kreatif model-model industry yang lama. Nokia vs Smartphone, perusahaan teknologi raksasa jepang vs perusahaan teknologi Samsung, adalah banyak kasus dari creative destruction. Uber mengubah tata cara kita bertransportasi, cara kita berbisnis dan cara menentukan nasib sosial kita sendiri. Itulah alasan mengapa pengusaha Taksi kebakaran jenggot. Okay, mungkin Blue Bird bisa memaksa Taksi Express melalui PERDA untuk menyamakan harga taksi, tapi apakah Blue Bird mampu memaksa para pelanggan naik Blue Bird sementara kemudahan akses diberikan oleh UBER kepada pelanggan.
Penulis ragu, teori Creative Destruction menyatakan perubahan bukan ditentukan oleh peraturan-peraturan tapi oleh pasar, what market wants, kalaupun hukum mampu memampatkan UBER, akan muncul seribu aplikasi Uber yang akan menghancurkan model model bisnis lama. Moda-moda transportasi di masa depan akan bergantung pada upaya yang dilakukan oleh Travis Kalanick. []