Tadinya ada harapan besar bagi Indonesia ketika Tony Abbot memenangkan pemilihan kursi perdana menteri, menjungkalkan Kevin Rudd awal tahun 2013 lalu. Jargon “less Geneva more Jakarta” mendadak menghiasi banyak koran-koran terbitan Australia dan Indonesia. Hubungan tetangga dekat namun jauh ini diharapkan bisa lebih “mesra” dibanding tahun-tahun sebelumnya. Apalagi di akhir kepemimpinan Julia Gillard, Pemerintah Australia menerbitkan buku putih Australia di Abad Asia yang mencoba memposisikan Australia di benua Asia yang merupakan mesin pertumbuhan global.
Dalam buku itu, Australia memandang Indonesia sebagai pintu masuk pengaruh Anglo Saxon di Asia, dan oleh karenanya pelajaran bahasa Indonesia pun digalakkan di beberapa sekolah menengah di Australia. Namun apalah arti posisi penting sepupu miskin Indonesia bila sudah berhadapan dengan posisi saudara tua kaya raya Amerika Serikat dan Inggris Raya. Jawabannya tentu “indonesia minggir jauh-jauh”.
Persisnya hal itu yang akan lebih banyak menghiasi hubungan Australia dan Indonesia baik saat ini maupun di masa mendatang. Mengharapkan Tony Abbot untuk meminta maaf kepada Indonesia ibarat mendapatkan cek kosong, bisa terjadi namun tidak akan tulus dan tidak menjamin di masa depan, aksi spionase ini akan terjadi. Bahkan laman the economist melansir sebuah pandangan objektif, seakan menyindir “more jakarta” berarti akan lebih banyak masalah bagi Australia. Terbukti hanya dua bulan setelah Tony Abbot terpilih, hubungan Jakarta Canberra yang tadinya diharapkan lebih baik, mengalami downgrade setelah SBY menarik duta besar Australia. Sinyal penting bahwa Indonesia benar-benar “marah” atas aksi Australia, menutup kemungkinan pengaruh Australia di Asia, dan memperbesar pengaruh China.
Namun sejatinya apa yang akan dilakukan Australia, mengingat ya Indonesia penting, tapi tidak sepenting kawan lama Australia, US dan UK. Tapi membiarkan Indonesia menutup diri dari Australia juga tidak akan mungkin dilakukan. Ingat, era sekarang mungkin bukan era perang dingin, Friedman menyebut, era globalisasi, tapi dewasa ini, globalisasi yang tadinya dimainkan Amerika Serikat dan Kawanannya, kini pindah meja, China dan Asia sedang mendominasi permainan. Jadi Amerika Serikat tidak akan membiarkan Australia melepaskan begitu saja Indonesia dari pengaruh Anglo Saxon. Memangnya Amerika mau kehilangan pengaruhnya di Asia setelah gagal mendominasi pengaruh dalam sengketa laut china selatan.
Kemungkinan pertama yang akan dilakukan oleh Australia adalah mengikuti permainan Indonesia, Australia akan secara terbuka menyampaikan program spionase nya kepada Indonesia melalui surat yang kabarnya sudah dibaca oleh Presiden SBY. Apakah SBY akan menyampaikan informasi ini kepada public Indonesia, sepertinya tidak mungkin, mengingat SBY adalah jenderal pemikir yang sangat hati-hati mengambil keputusan, kalau perlu ambil jalan aman. Catatan yang perlu digaris bawahi, kenapa Presiden RI tidak mengambil langkah cerdas Vladimir Putin dan Presiden Iran Hassan Rouhani, yang menulis opini di media massa Amerika. Kenapa memilih metode menulis surat, khas sekali dengan karakter Indonesia. Selesaikan di bawah meja.
Kemungkinan kedua, mengikuti nasehat saudara tua, Amerika Serikat. Negeri kanguru itu akan meminta maaf dan menyampaikan informasi kepada publik Indonesia. Namun dengan banyak terms and condition yang berlaku. Ingat, the Dutch tidak mungkin melepaskan Indonesia begitu saja kalau bukan nasehat sekutu, Belanda harus melepaskan Indonesia tapi dengan syarat. Konon katanya, Belanda melepaskan irian barat dengan kompensasi lain. Nah Australia kemungkinan mengikuti metode ini, bisa saja misalnya, meminta kuota impor sapi yang lebih banyak dari Australia, atau eksklusifitas dalam mengekspor hasil pertanian Australia.
Kemungkinan ketiga, dan ini yang paling mustahil, Australia akan berdiam diri saja sampai isu penyadapan ini berhenti dengan sendirinya. Sebagai suku bangsa Anglo Saxon, pantang bagi Australia untuk meminta maaf kepada Indonesia, apalagi seperti yang dikatakan Abbot di senat Australia, ini demi kepentingan dan keamanan rakyat dan bangsa Australia. Ketika sudah mereda, lalu akan melakukan normalisasi hubungan Australia Indonesia dengan memberi imbalan murah berupa pemberian beasiswa sebanyak-banyaknya bagi para pencari beasiswa. Ini yang paling banter dilakukan jikalau kedua opsi di atas tidak dilakukan. Ingat kasus Timor Leste dan Papua. Tetangga kulit putih ini kerap kali melakukan aksi-aksi yang mengesalkan bagi Indonesia. Padahal seberapa penting sih Australia bagi Indonesia. Zero! Transaksi perdagangan dengan negeri anggota persemamuran ini mengutip data mengalami deficit hingga 16 Trilion. Jadi bagi Indonesia buat apa memikirkan nasib hubungan Indonesia dan Australia.