Bisa jadi, Vladimir Putin kalah tenar dan tidak begitu disambut antuasias sebagai Person of The year oleh Majalah TIME. Presiden Federasi Russia ini kalah oleh sikap keteduhan Pope Fransiskus yang tahun ini dinobatkan oleh majalah TIME sebagai Orang Tahun Ini. Putin juga kalah oleh sikap idealis Edward Snowden yang membuka tabir praktik busuk NSA terutama kaitannya dengan aksi penyadapan terhadap ponsel warga Amerika Serikat itu sendiri. Walaupun namanya dinominasikan, namun Putin tidak berhasil masuk sebagai lima besar. Apakah ini pertanda bahwa persona Putin memudar.
Tunggu dulu, mungkin Putin tidak mendapat gelar Orang Tahun Ini, namun Forbes, majalah keuangan terkemuka di Amerika Serikat mengganjarnya sebagai The Most Powerful People, Orang Paling Berkuasa di Dunia. Putin menduduki peringkat pertama, mengalahkan penguasa negeri adi kuasa itu sendiri, Barack Obama yang menempati posisi ke dua. Pesona kharisma Putin ternyata masih tampak begitu digdaya, bahkan dalam majalah yang dikonsumsi dan diproduksi oleh Amerika sendiri.
Pertanyaan yang kemudian timbul adalah mengapa Vladimir Vladimirovich Putin mampu menggeser posisi atau tahta orang paling berkuasa di dunia dari tangan Barack Obama yang merupakan penguasa dari negara super power. Caroline Howard, editor majalah Forbes punya alasan tersendiri sehingga Putin yang merupakan mantan Perdana Menteri Rusia bisa mendapatkan gelar tersebut, menurut Caroline “Putin has solidified his control over Russian while Obama’s lame duck period has seemingly set in earlier than usual for two term president- latest example: the government shutdown mess. Anyone watching this year’s chess match over Syria and NSA leaks has clear idea of the shifting individual power dynamics”[1].
Caroline bisa jadi benar dengan gagasannya, bahwa Vladimir Putin memang memiliki kekuasaan melebihi dari kuasa Russia. Presiden Obama yang tahun 2013 tampak lumpuh akibat Government Shutdown tak mampu bermain indah tatkala Obama dan Putin saling adu taktik dalam pertandingan catur mengenai Syria dan Snowden. Permainan saling adu kekuasaan itu ditonton oleh banyak masyarakat dunia, dan publik pun tahu, Vladimir Putin yang mampu mencegah perang sekutu dengan Syria dan mampu memainkan kartu truf Snowden dengan baik, adalah pemenangnya!
Taktik yang paling terlihat terang benderang dalam menunjukkan kuasa seorang Presiden Putin adalah tatkala Putin mampu meyakinkan public Amerika Serikat mengenai jaminannya atas Syria apabila terbukti Pemerintah Bashar Al Assad menggunakan senjata kimia. Putin dalam opposite editorial pada Koran New York Times berjudul A Plea for Caution From Russia, meyakinkan dengan sungguh-sungguh bahwa penggunaan gas beracun dalam perang saudara di Syria digunakan oleh pihak oposisi dalam rangka menarik perhatian public dunia. Putin juga meingingatkan bahwa penggunaan jalan perang hanya boleh dilakukan dalam rangka self defense ataupun dalam kerangka persetujuan Dewan Keamanan PBB.
Pada titik-titik tergenting, 5 September 2013, Syria seperti diambang kehancuran, perang antara pihak oposisi dengan militer pemerintah terus berkecamuk, ditambah penggunaan senjata kimia yang menyakitkan bagi rakyat, Amerika Serikat dengan persetujuan DPR dan senat menyetujui serangan militer terhadap Syria apabila terbukti menggunakan senjata kimia[1]. Tentu ini adalah dentang lonceng kematian bagi rezim Bashar Al Assad yang sedikitpun tidak mau mundur dari tampuk kekuasaan Syria.
Belum lagi, Presiden Obama juga mengajak negara-negara sekutu lama seperti Inggris dan Perancis untuk bergabung dalam penyerangan terhadap Syria. Walaupun Inggris menolak dan Perancis masih bimbang, Obama tetap ngotot untuk melakukan serangan militer secara unilateral[2]. Di titik inilah kemudian, pada 11 September 2013, Putin yang selama ini bersikeras menentang aksi sepihak AS beraksi lebih cerdik dengan menulis langsung di halaman Opposite Editorial The New York Times berjudul A Plea for Caution From Russia What Putin Has to Say to Americans About Syria, yang menjelaskan posisi penting DK PBB dalam memutuskan apakah perang akan digelar atau tidak.
Personal Influence dalam Two Step Communication
Opini putin menggunakan teori Personal Influences, pengaruh kebesaran nama pribadi Putin melalui media massa. Putin dalam tulisannya berkali-kali seakan mencoba mempengaruhi public di Amerika Serikat bahwa serangan militer AS ke Syria hanya akan sia-sia seperti yang dilakukannya pada perang Irak dan Afganistan. Putin mengatakan “But force has proved ineffective and pointless. Afghanistan is reeling, and no one can say what will happen after international forces withdraw. Libya is divided into tribes and clans. In Iraq the civil war continues, with dozens killed each day. In the United States, many draw an analogy between Iraq and Syria, and ask why their government would want to repeat recent mistakes”[3].
Kedua Putin juga mencoba berbicara dengan gaya bahasa masyarakat Amerika itu sendiri yang sadar akan hukum internasional. Putin mengatakan “From the outset, Russiahas advocated peaceful dialogue enabling Syrians to develop a compromise plan for their own future. We are not protecting the Syrian government, but international law. We need to use the United Nations Security Council and believe that preserving law and order in today’s complex and turbulent world is one of the few ways to keep international relations from sliding into chaos. The law is still the law, and we must follow it whether we like it or not. Under current international law, force is permitted only in self-defense or by the decision of the Security Council. Anything else is unacceptable under the United Nations Charter and would constitute an act of aggression”[4].
Penulis sengaja mem-bold penegasan Russia bahwa mereka tidak melindungi Syria tapi mencoba menegakan hukum internasional adalah bahasa umum yang digunakan Amerika ketika mereka melancarkan diplomasi ke berbagai belahan dunia tentang perdamaian, demokrasi dan hak asasi. Masyarakat AS seakan dibuat dekat dengan Putin, bahwa ia mengenal dan memahami karakteristik rakyat AS. Dalam rangka penegasan itu pula, Putin seakan menyindir gaya diplomasi AS yang lebih sering menggunakan bahasa “you’re either with us or against us.”
Terakhir dan menjadi penutup, tidak lupa pula pesan terakhir Putin yang mencoba menyadarkan publik AS tentang masih banyaknya perbedaan bukan berarti jalur diplomasi damai tidak bisa dilakukan. Putin mengatakan “There are big countries and small countries, rich and poor, those with long democratic traditions and those still finding their way to democracy. Their policies differ, too. We are all different, but when we ask for the Lord’s blessings, we must not forget that God created us equal”