Business & Economics

Financing "The Next Starbucks"

[singlepic id=118 w=260 h=180 float=left] BANK syariah kini sedang dihadapkan pada masalah mendasar, terjadinya overliquiditas, dan tingginya nilai non performing finance. Keduanya membuat bank syariah memilih jalan aman, menyimpan dana di SWBI dan menurunkan porsentase mudharabah. Tetapi apakah solusi tersebut sudah tepat? Kisah kedai kopi starbucks yang sukes dengan pembiayaan berskema bagi hasil, membuka satu wacana baru, bahwa pembiayaan jelas merupakan satu-satunya solusi yang terbaik.

Waktu masih menunjukkan jam kerja ketika Irham, 28 Tahun, seorang account officer di bank syariah milik pemerintah daerah keluar dari kantornya. Siang ini tepat pukul 14.00, Irham akan bertemu dengan salah seorang nasabah banknya yang sedang mengajukan pembiayaan untuk usaha bisnis franchise yang sedang dirintis.

“kita memang sedang meningkatkan porsi pembiayaan pada usaha produktif, selain karena memang tingginya permintaan pembiayaan, kami juga berpikir ini langkah yang tepat untuk mengurangi overliquiditas” Ujar Irham. Tetapi apakah Irham tidak takut akan terjadinya kredit macet, ketika dikonfirmasi lebih lanjut Irham mengatakan itu salah satu risiko dari usaha perbankan

“makanya saya juga terkadang harus pintar-pintar untuk menyeleksi setiap proposal pembiayaan yang masuk, harus jeli juga melihat peluang usahanya. Kalau usahanya sukses ya Alhamdulillah, berarti kita semua, bank, pihak ketiga dan pengusaha itu sama-sama sukses, kalau gagal kan bukannya gimana-gimana, bank kan juga harus mempertanggungjawabkan dana-dana para DPK” Ujar Irham lagi.

Irham menambahkan, pembiayaan memang sangat beresiko tinggi, tetapi bukan berarti membuat bank harus mengecilkan persentase mudharabah. Bank harusnya lebih bisa mengelola manajemen resikonya sendiri, dengan perencanaan yang terukur dan pendampingan yang terpadu, Irham meyakini suatu pembiayaan akan sukses.

“makanya itu, saya selain berpegang pada prinsip character, capability, capital, condition dan collateral, saya harus pandai-pandai melihat peluang usaha, sekaligus tren yang berkembang di masyarakat” Ujar Irham lagi

Tren Kewirausahaan dan Overliquiditas

Berbicara masalah tren, salah satu tren yang tidak luput dari pengamatan Irham adalah gejala wirausaha di kalangan anak muda. Masih menurut Irham, agaknya di masyarakat perkotaan tengah terjadi pergeseran nilai, kalau dahulu mungkin orang-orang usia produktif lebih mantap untuk menduduki suatu jabatan tertentu di perusahaan Negara atau perusahaan orang lain, sekarang tren-nya berubah. Anak-anak muda yang berpengalaman saat ini lebih tertantang untuk mendirikan usaha baru bersama teman-temannya. Tak heran demand untuk kredit (di bank konvensional) atau pembiayaan di bank syariah kian hari kian meningkat.

“sebulan ada puluhan nasabah yang meminta bank kami untuk membiayai usaha mereka” tutur Irham.

Apa yang dituturkan Irham bisa jadi ada benarnya, dewasa ini memang tren anak muda yang berwirausaha agaknya meningkat dari tahun ke tahun, apalagi banyak seminar-seminar yang diselenggarakan guna menyemangati anak muda untuk berwirausaha.  Fenomena ini diamini oleh Dekan FE Unpad Ernie Tisnawati, mengutip Kompas edisi 26 Oktober 2009, Ernie menjelaskan jumlah lulusan FE Unpad yang terjun ke dunia wirausaha kira-kira naik dua kali lipat, “setiap tahun fakultas mengeluarkan 100 sarjana baru dan sekitar 50 diantaranya menjadi wirausaha”, ujar Ernie. Penuturan Ernie sedikit menggembirakan setelah sebelumnya data-data statistic menunjukkan minat berwirausaha di kalangan anak muda sangat minim, hanya sekitar 0,18 % saja masyarakat Indonesia yang tertarik untuk menjadi entrepreneur.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah tren ini baik? Menurut Irham, ini merupakan titik temu yang baik di tengah masalah overliquiditas bank syariah yang belum bisa ditangani hingga kini.  Overliquiditas, adalah kelebihan likuiditas pada bank akibat membanjirnya dana-dana nasabah pada sisi investasi. Masalah muncul akibat terjadinya penumpukan dana-dana pihak ketiga pada bank dan oleh bank sebagian besar dana-dana itu hanya disalurkan melalui SWBI. Bank syariah, seakan takut untuk menyalurkan likuiditas ke sector riil. Namun Irham menambahkan permasalahan ini juga bukan kesalahan bank semata, tingginya rasio NPF atau kredit macet menyebabkan bank enggan menyalurkannya ke sector riil, bank sepertinya lebih tertarik untuk menyimpan dananya di SWBI. Permasalahan overliquiditas dan tingginya rasio NPF (non performing finance) ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan dan belum bisa diatasi hingga kini. SWBI agaknya hanya salah satu solusi sementara untuk membuat bagi hasil terus berputar di kalangan para nasabah.

Financing the Next Starbucks

Lalu bagaimana cara mengatasi overliquiditas dan NPF itu? Seperti yang telah dituturkan oleh Irham, bank harus lebih banyak menyalurkan dananya ke pembiayaan, tren wirausaha menurutnya menjadi momen yang tepat bagi perbankan untuk memaksimalkan persentase pembiayaan mudharabah pada skema-skema pembiayaan lainnya di bank syariah. Pendapat senada juga di lontarkan oleh Ketua Asbisindo Riawan Amin, menurutnya seperti yang dikutip dari tabloid kontan, seharusnya Bank lebih banyak menyalurkan dananya ke sector riil melalui fasilitas pembiayaan.

Baik yang dikatakan oleh Irham dan Riawan Amin jelas merupakan satu-satunya solusi yang terbaik dibanding hanya meng”idle”kan dana-dana pihak ketiga di SWBI. Selain karena sudah merupakan fungsi dari bank syariah itu sendiri, pembiayaan secara teori juga akan banyak menggerakkan sector riil. Bisa dibayangkan akan ada usaha-usaha baru yang akan ikut serta menggerakkan arus barang dan jasa serta terserapnya sumber daya manusia. Namun seperti apa jenis pembiayaan yang tepat bagi bank syariah, itu juga merupakan suatu permasalahan tersendiri, mengingat kredit macet akibat pembiayaan juga meningkat akhir-akhir ini.

Permasalahan ini membawa penulis pada kisah sukses Starbucks yang kini menjadi kedai kopi terbesar yang cabang-cabangnya bisa ditemui di sudut-sudut jalan terpenting di dunia. Berdasarkan sebuah sumber,  starbucks yang awalnya didirikan di Seattle, AS, itu besar dan mendunia justru bukan karena kredit yang dikucurkan oleh bank, melainkan oleh para pemodal besar yang ber venture capital dengan yield bagi hasil di  akhir kontrak. Agaknya mencengangkan bahwa sejatinya konsep venture capital itu justru sangat mirip dengan konsep mudharabah dalam muamalat. Konsep ini justru telah banyak membuat perusahaan-perusahaan dunia macam Whole Foods Inc, bahkan Apple dan Google juga termasuk perusahaan-perusahaan yang menggunakan konsep mudharabah dalam kontraknya (hanya saja dikenal dengan nama lain Venture Capital)

Starbucks, seperti juga Apple dan Google adalah tiga dari puluhan atau ratusan jumlah usaha yang sukses dibiayai dengan konsep mudharabah. Para pemodal-pemodal besar, bisa saja menyimpan dananya di bank-bank besar, toh tiap bulannya pasti mendapatkan return yang sesuai, tapi mereka memilih menyeleksi setiap peluang usaha dengan ide dan gagasan cemerlang yang datang, mereka mencermati, membiayai sekaligus mendampingi secara langsung usaha-usaha tersebut, alhasil seperti yang kita lihat, usaha-usaha dengan merek seperti yang disebut di atas adalah sekian dari banyak usaha yang sukses.

Kalau sudah begini alangkah disayangkan kalau bank syariah justru mengebiri skema mudharabah, yang terbukti banyak melahirkan usaha-usaha strategis. Oleh karenanya, menjadi pekerjaan rumah bagi bank syariah untuk terus memperbesar persentase skema pembiayan mudharabah. Bank syariah harus lebih banyak membiayai usaha-usaha “the next starbucks” baru yang strategis dan menguntungkan. Tentunya dalam membiayai usaha the next starbucks itu, harus didasarkan pada pertimbangan yang matang, seleksi yang ketat, naluri bisnis yang tajam, prediksi yang tepat, sekaligus pengawasan dan pendampingan yang terukur dan terarah. Apakah cerita Irham yang akan membiayai the next starbucks akan sukses. Kita lihat saja lima tahun mendatang!

Picture taken from : http://wordsaboutthings.wordpress.com/2008/07/02/starbucks-to-close-600-stores/

About the author

saumiere

Leave a Comment