[singlepic id=57 w=320 h=240 float=left]Judul di atas tak bisa dipungkiri memang sebuah tagline suatu produk pasta gigi yang ditayangkan tiap harinya melalui televisi. Sangat persuatif dan mampu membangkitkan animo masyarakat dalam hal kepedulian terhadap ODHA (Orang Dengan HIV AIDS). Tadinya saya menganggap hal yang demikian itu biasa-biasa saja, namun setelah melihatnya berulang kali, saya jadi kepikiran, dan setelah lama bergelut dengan pemikiran tersebut, eureka, ilham itu datang dan menjelaskan semuanya.
Bahwa tagline di atas merupakan representasi identitas suatu kelompok dalam masyarakat yang selama ini mungkin dipandang sebelah mata, dipinggirkan peranannya dan hanya dijadikan objek pasar oleh produsen tertentu. Yang sesungguhnya menyimpan potensi luar biasa, berkompeten menjadi penggerak dan subjek perubahan dalam masyarakat. Kelompok ini komunitas anak muda yang sekarang seiring bergulirnya jarum jam, menunjukkan identitasnya lebih agresif (bukan radikal), mengusung idealisme berupa kreativitas, kebersamaan, sembari terus mengukir prestasi.
Untuk memperjelas uraian diatas, alangkah lebih baik jikalau kita mencermati kembali polemik menghebohkan minggu-minggu ini. Barisan anak muda berbakat yang menamakan kelompoknya dengan Masyarakat Film Indonesia ramai-ramai mengembalikan 34 Piala Citra sebagai bentuk protes terhadap bobroknya kinerja dan birokrasi penyelenggara Festifal Film Indonesia, serta lembaga-lembaga terkait lainnya semisal BP2N (Badan Pertimbangan Perfilman Nasional), PARFI (Persatuan Artis Film Indonesia) dan LSF (Lembaga Sensor Film Indonesia). Mereka menilai UU perfilman dan seluruh instansi terkait harus diperbaharui atau diganti, kalau tidak mereka mengancam akan memboikot penyelenggaraan FFI tahun mendatang. Polemik ini hingga sekarang layaknya bola salju yang terus menggelinding, menyita perhatian banyak pihak, walaupun belum diketahui ending dari polemik ini, namun sensasi ini berhasil memberi tahu bahwa dibalik gemerlapnya Festifal Film Indonesia, ada sesuatu yang membusuk yang harus dibenahi.
Dua contoh di atas merupakan representasi nyata anak muda saat ini. Mereka sangat kreatif, dan mampu menghembuskan ide pembaharuan dengan cara yang sama sekali berbeda. Gerakan MFI yang pentolannya (Riri Riza, Mira Lesmana, Nia Di Nata) yang merupakan penggerak bangkitnya perfilman Indonesia, ingin mengubah kondisi perfilman dengan cara frontal namun aksinya sangat terstruktur. Dalam kasus pasta gigi di atas, kita juga menemukan hal serupa, mereka mengajak anak-anak muda sekarang untuk lebih peduli terhadap HIV/AIDS. Pesan-pesan mereka yang terwujud dalam kata-kata safe sex, stay away from HIV/AIDS begitu melekat. Alhasil pada tanggal 1 Desember yang lalu semua orang mengenakan pita merah sebagai lambang kepedulian ditambah aksesori lain semisal tag, hadiah dari pasta gigi itu. Secara common-sense, ada suatu kesamaan bahwa mereka tak hanya berani menyatakan sikap, namun juga berani membuktikan sikapnya atas hasil kerja kreatif mereka selama ini.
***
Mahasiswa Indonesia Masa Kini; Have Fun Yes, Hedonis Tunggu Dulu
Kalau selama ini banyak pihak di INDONESIA yang merasa cemas dengan menurunnya aktivitas-aktivitas intelektual semisal kajian dan seminar berbobot, menurut saya itu adalah kecemasan yang tidak berdasar. Tanpa mengurangi rasa hormat, saya merasa tidak senada dengan suara-suara sumbang yang menyatakan bahwa mahasiswa sekarang tak ubahnya mahasiswa KUPU (kuliah-pulang), bahkan ada yang menyatakan mahasiswa sekarang benar-benar hedonis, yang hanya sekedar kuliah, pacaran, nongkrong, trekking sampai clubbing. Saya sampai berfikir “ah mungkin pencibir-pencibir ini memang tidak disiapkan untuk menghadapi dunia anak muda sekarang, atau mungkin juga shock mereka kehilangan kendali atas anak-anak muda enerjik ini” mereka (pencibir-pencibir ini) memang dididik untuk hidup di Era 80-an, menjadi mahasiswa yang hanya baca buku, kuliah dan demonstrasi. Buat saya itu bukan zamannya lagi.
Sekarang kita hidup di era pasca perang dingin. Thomas L Friedman menyebutnya sebagai era globalisasi, di mana orang-orang mungkin lebih memilih pohon zaitun (olive tree) yang berarti kebahagiaan dibanding mobil lexus yang berarti persaingan (baca; perang). Dan John Naisbitt serta Patricia Abundance menafsirkan Olive Tree sebagai kecenderungan utama dalam Megatrends 2000, disimbolkan dengan food, fashion dan fun.
Dari sini bisa ditarik kesimpulan bahwa kelakuan mahasiswa sekarang tidak sepenuhnya salah. Mereka memang hidup di era global, mereka menjadi mahasiswa yang berwajah baru. Saya sangat senang dengan ilustrasi kata yang digunakan oleh Gustaf Iskandar dalam menggambarkan realitas anak muda sekarang “pagi kuliah, siang main basket, sore nongkrong di kafe, malam clubbing di nightclub”. Justru heran jikalau saat ini masih ada mahasiswa yang menganggap gondrong adalah identitas sejati mahasiswa, pun dengan demonstrasi dan beragam identitas lainnya yang berasal dari abad sebelumnya.
Memang terkesan hedonistis namun hal-hal yang sedemikian itu tak lain dan tak bukan adalah untuk having fun semata. Mereka sebenarnya masih meluangkan waktu untuk mengembangkan kreativitas dan kemampuan mereka. Yang justru hasil kreasi mereka lebih baik dibanding hasil kreasi mahasiswa jadul.
Lalu untuk apa mereka menghabiskan banyak waktu hanya untuk bersenang-senang. “because life is suck” begitu kata Nadine Chandrawinata dalam film Realita, Cinta dan Rock n’ Roll. Kenyataan ini menggambarkan begitu banyak anak muda saat ini yang mengalami reality shock, mereka dididik dengan cara yang salah, begitu banyak kontradiksi antara apa yang dipelajari dengan kenyataan hidup yang ada di luar sana. Kalau sudah seperti ini siapa yang mau disalahkan?
***
Generasi INDONESIA Masa Kini; Kreatif Oke, Gaul Jalan terus
Pada mulanya, saya bimbang dan belum yakin, apakah sederetan argumen dan kisah-kisah berikut ini mampu mementahkan nada-nada sumbang pencibir mahasiswa hedonis itu? Walaupun belum diketahui hasilnya, akhirnya saya memantapkan diri ya insyaallah tulisan ini akan mengubah persepsi masyarakat Indonesia walaupun tidak seratus persen.
Argumennya adalah memang benar mahasiswa sekarang lebih banyak menghabiskan waktu untuk have fun, main billiard, party at Saturday night, tetapi mereka tidak lantas lupa mengenai siapa diri mereka sebenarnya. Mereka masih punya nilai, prestasi dan kreatifitas yang mereka tuangkan dalam sebuah karya. Mereka bikin album, nulis novel, bikin film indie, aktif di kegiatan sosial, peduli lingkungan hidup dan mau berbagi pengalaman. Mereka emoh aktif di kajian politik yang sarat dengan nilai-nilai kekuasaan yang nyata-nyata hanya bisa berkoar namun tak punya aksi. Kalau mau mengentaskan kemiskinan misalnya mereka dengan rela melelang gitar kesayangan ataupun konser amal untuk sekadar berbagi dengan kaum papa, yang hasilnya bisa langsung dirasakan dibanding politikus yang ribut menggodok kebijakan yang so far hanya menguntungkan pribadi dan kelompok.
Argumen ini bukannya tidak berdasar, ada reason de etre yang menjustifikasi hal ini. Saat ini mungkin tidak ada yang tidak mengenal gerakan independen (indie). Suatu gerakan anak muda yang emoh terikat pasar apalagi peraturan. Mereka memilih jalan sendiri dalam menentukan nilai dan peran dalam masyarakat. Gerakan ini seakan menjadi euphoria yang dianut oleh sebagian besar anak muda di Jakarta, Bandung hingga pelosok Jogjakarta. Hasilnya bisa kita lihat sendiri. Kaus-kaus bermotif graffiti yang berukuran body size yang dikeluarkan oleh distro (distribution outlet), yang nota bene merupakan tempat hasil kreasi anak-anak indie, sekarang seakan menjadi trendsetter mode t shirt masa kini, membuat produsen-produsen raksasa kewalahan dan membebek mode ini. Mereka berkreasi di gang-gang sempit sembari mengendus tren-tren fashion yang sedang